Senin, 10 September 2012

Tiga Kawan

Seorang kawan bernama Iyya Maliya kembali mengejutkan saya. Ia akan tinggal di Bali untuk beberapa bulan lamanya. Mungkin bisa satu tahun atau entahlah. Kenapa Bali? Saya pun tak tahu namun keputusan itu tergolong nekat, apalagi ketika ia menceritakan masih butuh uang untuk biaya keberangkatan dan hidup di sana. 

Kemudian seorang kawan di tempat saya bekerja sekarang ini (tanpa mengurangi rasa hormat dengannya) membuat saya berpikir panjang. Selama hampir tiga bulan ini, tubuhnya makin kurus dan entah mengapa ia selalu sakit. Minimal, influenza atau sakit punggung, dan itu pasti setiap bulan ia sakit. Acapkali bertemu di kantor, wajahnya tampak kurang ceria, sedikit tertekan atau memang seperti itu yah. 

Berbeda ketika saya dahulu sekali bertemu dengannya. Ia masih ceria dan tampak selalu bersemangat. Lalu ada apa dengannya? Suatu hari, melalui bbm saya pernah menanyakannya dan mencoba mengajak berbicara, ada apa? ada masalah apakah atau ada yang bisa saya bantu, meski hanya dengan jadi pendengar. At least, enam bulan lalu saya merasakan kebingungan dan di bawah tekanan yang sama dengannya. Tujuannya, hanya ingin berbagi. 

Kawan ngabolang saya sekaligus sahabat, Badru Al Wahdi, punya rencana yang juga membuat saya berpikir. Ia bekerja di sebuah tabloid politik bernam Prioritas. Jika kontraknya habis, ia akan resign. Padahal dengan jadi reporter, gajinya lumayan di atas saya, berani ambil keputusan di jalur profesi yang sebelumnya sangat digarisi hitam olehnya. Tentu saja, pemred dan redakturnya adalah pentolan media. 

Ada apa dengan tiga kawan di atas? Sebenarnya ini tentang hasrat hidup, sesuatu yang kita inginkan ke depannya. Suatu hal yang dikerjakan sekarang dan berdampak ke masa depan, lebih kepada profesi apa yang kamu inginkan. 



Teman pers mahasiswa saya, Iyya, terbilang cukup gokil dalam setiap pilihannya (termasuk urusan cinta). Ia nekat dan rela terhadap apa yang diinginkannya. Mulai dari pekerjaan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat, tukang demo, jadi yang urus-urus administrasi di lembaga itu, hingga ke Bali. Ia tahu apa yang diinginkannya dan bagaimana mendapatkannya. 

Untuk yang kedua, saya merasa sayang sekali. Ia sudah mengambil keputusan untuk berada di jalur itu. Pria itu juga pernah mengatakan di linimasa twitternya, "Turut bahagia kepada kawan yang sudah menemukan passionnya."

Terkadang saya juga takut ini bukan apa yang paling diinginkan, takut menyia-nyiakan waktu atau memang Tuhan tidak mentakdirkan hal ini. Tuhan memang mempunyai rencana bagi setiap hamba-Nya. Tapi bukankah itu semua tergantung apa yang kita pilih?

Di jalur ini, jangan tanyakan tentang tantangan atau betapa susahnya dan terseoknya kita bertahan. Dalam setiap tugas, saya menganggapnya seperti sebuah perjalanan. Maka 24 jam pun terasa sangat panjang dan ada makna di baliknya. Saya menyakini itu. 

Untuk Iyya yang sedang mencapai apa yang diinginkannya saya ucapkan selamat. Serta kawan saya yang masih bingung apa yang ingin dicapai, mungkin Tuhan sedang memberi kesempatan untukmu berkarya di jalur ini. Toh, jika tak jadi pun, tak jadi soal. Tuhan selalu baik. Khusus Badru, saya selalu yakin keputusan yang diambilnya adalah terbaik dan tepat. 

Bagi saya, ini seperti perjalanan baru, dengan setiap lakon yang pasti berbeda. Narasumber yang berlainan, waktu dan cerita yang bertentangan. Ada asa untuk menggapainya, tanpa harus mengindahkan sesuatu hal lainnya. Saya menghargai proses ini. 

Pasar Minggu, 10 September 2012 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar