Minggu, 23 September 2012

Suatu Malam...

"Kita nikah yuk," katamu suatu malam ketika perjalanan pulang menuju ke rumah. Saat itu, saya ingat sekali, jam sudah menunjukan pukul 00.30. Jalanan sudah sepi. Tak ada kebisingan lalu lintas maupun orang. Tapi justru hati saya yang berisik. 

Diam selama beberapa menit. Kamu mengoceh, merencanakan bagaimana menuju pernikahan, akan punya rumah di mana, dan punya anak. Saya masih diam, tapi masih memelukmu dari belakang. 

Kepala saya cenat cenut usai deadline weekend. Tapi kamu selalu mau menunggu sampai selesai kerja lalu menjemput. Alasanmu, karena bertahun-tahun kita pacaran enggak pernah pakai motor, dan jarang membahagiakan. 

Di persimpangan menuju Universitas Nasional, omonganmu terhenti. "Nes, denger kan? Kok diem?" Glek, saya terlalu sibuk mikir ini itu, sampai tak menggubris pembicaraan penting ini. Atau memang saya mendengarnya tapi kebingungan itu merajai. 

"Iya, denger kok ay."

Kita berdua sama-sama memahami kesulitan utama untuk mencapai gerbang pernikahan. Apa kendalanya dari kedua belah pihak dan diri kami masing-masing. Padahal dahulu, kata pernikahan selalu sakral bagi saya. Kini, ia jadi momok yang membingungkan. 

Enam tahun perjalanan bersama kamu. Antara tangis, bahagia, dan senyuman itu. Tentu saja, putus nyambung. Perjalanan makin dekat ke rumah, saya makin terisak. Perasaan ini tiba-tiba jadi aneh. Kamu menyadarinya, dan bertanya. Saya hanya bilang tidak. 

Di depan rumah saya bilang, "Belum mau nikah ay." Kamu malah senyum dan berkata, "Iya tahu kok, aku tetap nunggu kamu sampai mau nikah," ujarnya. 

Jleb! Langsung nohok, saya bingung. Hanya bisa berujar, "Hati-hati yah di jalan ay, jangan ngebut-ngebut."

Pasar Minggu, 23 September 2012
pukul 21.47

Tidak ada komentar:

Posting Komentar