Kamis, 27 September 2012

Jetlag

Kali ini saya kembali ke jalanan, meliput dunia perkotaan dan politik ibukota. Aneh dan terasa sedikit jetlag ketika dari gaya hidup kembali ke metropolitan. Kenapa? Ritme bekerja dan isu yang jauh berbeda itulah membuat saya harus beradaptasi kembali. Meski saya tidak tahu apakah akan dipindahkan sampai akhir tahun ini, ataukah sampai pelantikan selesai. 

Sembilan bulan lalu, saya memulai kerjaan ini dengan nekat. Pengorbanan keluar dari zona nyaman, menuju sebuah tempat di wilayah Buncit Jakarta Selatan. Segala pil pahit dan pembelajaran itu harus diterima sendiri, dinikmati. Butuh waktu yang lumayan lama bagi saya untuk bergaul dan mengenali isu. 

Lalu, saya dipindahkan, semua reporter mengalami rolling desk. Apa yang dirasa? Pastinya kaget tapi harus dijalani toh. Ini kan salah satu proses dari pembelajaran, seperti yang kau ingini nes. Seminggu sebelum hari pencoblosan putaran kedua, saya kembali dipinjami ke desk tersebut. Ada dua rasa senang sekaligus takut. 

Ternyata saya begitu pengecutnya untuk sekedar kembali belajar ke jalanan. Banyak hal yang belum dipersiapkan. Pertemanan yang dulu sempat mengendur, mau tak mau harus dieratkan. Sejujurnya malam itu, saya tak kuasa menahan, justru tiba-tiba terisak dan perasaan makin campur aduk. Saya tahu, saya ingin menangis. Menangis layaknya anak kecil. Hanya itu, lalu mungkin akan sedikit lega. 

Lucu sekali, ketika proses belajar ini dicampur adukan dan ingin mencapai ke tingkat berikutnya, justru saya merasa makin sulit. Saya merasa bodoh. Galau enggak karuan. Selalu merasa apakah ada manfaatnya saya di sini? Tapi kok sikap mereka seperti acuh tak acuh, saya telpon dan sms kok ada yang tetap tak menggubris. Kenapa? Salah saya apa? Saya bingung. 

Curhatan enggak jelas, tapi dua hari ini saya ingin sekali menulis dengan jujur tanpa tendensi apa pun atau ke siapa pun. Mengapa? Di sana, saya kembali belajar dari nol, saya suka itu. Saya yakin bisa, hanya saja terkadang manusia begitu naif untuk sok bisa. Termasuk saya. 


Semalam ada yang bertanya, dan kepadanyalah, saya selalu ingin terbuka dan jujur. Mungkin timbul perasaan percaya sejak awal. Kepadanya, saya tak memakai topeng. Saya bersikap dan berkata sedemikian apa adanya. Ia guru saya. At least, saya menganggapnya begitu. 

Ia bertanya, "Apakah psikologismu baik-baik saja?" Saya katakan, "Iya, akan baik-baik saja."
Katanya, "Baguslah kalau begitu."

Saat perjalanan pulang, saya justru memendam perasaan sebal kepada kawan yang resign. Setelah berpikir panjang, yang membuat hati terasa berat melangkah dan gondok ternyata adalah perasaan sebal saya terhadapnya. Ia menghancurkan pos dan koordinasi yang semula baik-baik saja. Saya sempat jutek dan berkata kasar kepadanya ketika kami pesta perpisahan di PH, dan ia buru-buru pulang. 

Saya geleng-geleng kepala. Hmmm, yasudahlah. Masih ada pelangi di balik awan kelabu, bahkan saya harus selalu siap sedia ditempatkan di mana pun. Karena memang harus seperti itu, karena saya sedang belajar menjadi seorang reporter. 

Satu hal lagi, seperti yang selalu sahabat saya katakan, "Tuhan sedang mempersiapkan sesuatu untukmu nes. Percayalah."

Iya saya, tahu. Saya masih bersemangat kok, saya masih tetap akan belajar. Ini hanyalah riak kecil. Percayalah. Sukses tanpa batasssss, chayoooo ;))

Bakoel Koffie Cikini, 27 September 2012 pukul 18.11 WIB


Tidak ada komentar:

Posting Komentar