Prolog => Baca
ini, semoga menjadi inspirasi. Cukup satu kalimat yang menjadi judul pada inbox
surat elektronik malam ini, pukul 19.30.
Sejujurnya saya
terhenyak, dalam hati berkata, “Tumben, ia kirim email seperti ini, biasanya
selalu soal liputan kantor.” Oke, ada apa ini? Lets positive thinking.
Kemudian, saya
yang berniat mau mencari modem Smartfren untuk sehari-hari kirim tugas laporan
kantor, jadi membaca inbox terlebih dahulu. Ini lebih penting, kata hati saya.
Paragraf
pertama, kedua dan seterusnya. Bagian pertama hingga terakhir saya baca secara
seksama dan teliti. Mencari makna di balik pengalaman si wartawan Jawa Pos ini.
Saya tahu enam bulan yang terjadi di dunia baru ini membuat mata terbuka, open minded terhadap profesi ini. Bukan
lagi sekedar menjadi impian tapi sebuah profesi yang harus dijalankan dengan
profesional dan kredibel.
Lalu apakah
jadi inspirasi? Setelah membacanya saya katakan dengan tegas, iya. Sangat
menginsipirasi sekali. Saya menjadi bercermin terhadap segala peristiwa selama
ini. Itu belum ada apa-apanya, masih kecil, segala yang ada di depan saya masih
besar dan banyak. Pastinya, akan ada krikil yang bertebaran, saya tidak boleh
lelah dan ketinggalan.
Enam bulan
ini, pastinya sebuah pelajaran dan akan terus berproses. Saya sekolah
jurnalistik untuk kedua kalinya. Bagi saya ini bukan hanya profesi, kantor,
kerja, dan selesai begitu saja. Tapi, ini adalah sebuah sekolah jurnalistik,
tinggal saya yang harus memilih, ingin memilih pilihan yang mana lagi???
Monggo dibaca,
jika tulisan seseorang yang diforwardkan dari redaktur saya ini juga dapat
menginsipirasi kalian…
DWO : Oala Dahlaaan… Tega
Nian Dikau (1-2)
Oleh Jusak Soenarjo dan Duro Ngalam di GERAKAN RAKYAT DAN FACEBOOKER
MENDUKUNG DAHLAN ISKAN JADI PRESIDEN
Djono W Oesman
Oala Dahlaaan… Tega Nian Dikau (1)
Pemimpin tegas dan terarah, membuat
organisasi solid dan cepat mencapai tujuan. Sekaligus berisiko: Bisa menyakiti
anggotanya. Semua orang bebas memilih, dipimpin orang tegas atau tidak. Seperti
halnya Pembaca cerita ini bebas berpendapat, Dahlan Iskan seperti apa?
--------------------
Suatu hari di akhir 1984, saya tak punya
berita. Pagi sampai jelang petang keliling Surabaya yang panas dengan motor,
hasilnya nihil. Sudah 4 bulan saya jadi wartawan Jawa Pos (JP), baru kali ini
tak punya berita. Rasanya grogi luar biasa.
Zaman itu, Pemimpin Redaksi JP, Dahlan
Iskan (kini bos PLN) sangat rajin dan galak. Sebelumnya, saya sudah jadi wartawan
Radar Kota. Pemrednya Zawawi Lematang, tapi tak serajin dan segalak Pak Dahlan
(dia biasa pakai kode: Dis).
Contoh: Dis setiap sore berjaga-jaga di
pintu masuk kantor JP di Jalan Kembang Jepun, Surabaya. Tujuannya satu: Tanya
ke setiap wartawan yang masuk, "Beritamu apa?” Selalu begitu. Setiap hari,
seperti tak pernah lelah.
Kalau ada wartawan menjawab:
"Konferensi pers Dharma Wanita, persiapan acara…" Dis langsung
memotong: "Itu bukan berita. Apa lagi?"
Wartawan cepat menjawab: "Ada press
release dari Humas Walikota…" Dis sudah memotong lagi: "Juga bukan
berita. Apa lagi?"
Bila wartawan menjawab : "Tak ada
lagi, Pak.” Maka, Dis akan angkat tangan tinggi-tinggi: "Sudah, kamu
pulang saja. Hari ini kamu bukan wartawan Jawa Pos." Artinya, mungkin besok
dia wartawan JP, jika membawa berita layak JP. kalau tidak, ya diusir lagi.
Seminggu berturut-turut diusir, dipecat.
Bagaimana bentuk berita layak Jawa Pos?
Sudah diberikan di briefing Dis, rutin setiap malam. Rumit, dan cara
mendapatkannya berat. Saya tahu, sebab sebelum di JP saya sudah wartawan.
Standar “Layak JP” lebih tinggi dibanding “Layak Muat”. Berita “Layak Muat”
yang dijadikan standar koran-koran lain (termasuk Surabaya Post, saat itu
rajanya di Surabaya), belum tentu “Layak JP”.
Kata Dis saat itu, hanya dengan begitu
(standar tinggi) kita (Koran JP) bisa mengalahkan Surabaya Post. “Kalau tidak,
mending kita bubar saja. Cari pekerjaan lain,” ujarnya.
Saat itu tiras JP sekitar 12.000. Ketika
diambil-alih Majalah Tempo dan menunjuk wartawannya (Pak Dahlan) jadi Pemred,
1982 (2 tahun sebelumnya) tiras 2.000. Sedangkan Surabaya Post stabil 100.000
sejak 1970-an. (Belasan tahun kemudian terbukti, Surabaya Post tersungkur).
DIUSIR? SIAPA TAKUT?
Jelang 16.00 saya ngopi di pinggir jalan
dekat Tugu Pahlawan. Mau ke kantor, ragu. Kabur (pulang) berarti menyerah. Ke
kantor berarti siap malu, diusir. Jika kabur, ada kemungkinan besok atau lusa
akan terjadi seperti ini lagi. Kalau sering terjadi, berarti saya tidak layak
jadi wartawan.
Akhirnya saya pilih ke kantor, siap
malu.
Pukul 16.00 lewat, saya tiba di kantor.
Motor tidak parkir di tempat biasa (halaman kantor yang mepet trotoar), tapi di
warung kopi, persis seberang kantor. Saya ngopi lagi, sambil mengawasi pintu
masuk kantor.
Tampak Dis berdiri, bersandar di meja
front desk. Dia menyapa setiap wartawan yang masuk. Sesekali dia ngumpet di
balik pintu, tapi saya tahu dia ada. Buktinya, wartawan yang baru masuk selalu
tertahan sejenak di dekat pintu. Pasti itu karena ditanya-tanya Dis.
Satu demi satu kawan-kawan saya masuk.
Artinya, mereka punya berita beneran, bukan abal-abal. Istilah kami “Layak JP”,
bukan “Layak Muat”.
Sekitar sejam menunggu, pria setengah
baya masuk kantor, salaman dengan Dis, lantas mereka tertawa-tawa. Mereka
ngobrol disitu sambil berdiri. Inilah kesempatan. Hari hampir gelap, Bung.
Kalau tak maju sekarang, kapan lagi? Saya maju.
DUH... TERJEBAK dalam TOILET
Saat menyeberang jalan, dada saya
bergetar kencang. Spekulasi habis. Andai gagal, malunya tambah fatal. Sebab,
selain malu di depan karyawan front desk dan bagian iklan (cewek cantik semua),
ada tambahan penonton: Tamunya Dis.
Seandainya saya tak disapa Dis, semuanya
bakal beres. Saya sudah punya strategi. Saya akan cari berita via telepon
kantor. Dalam waktu singkat, pasti saya bisa menghubungi beberapa narasumber.
Persoalan beres.
Ternyata saya lolos. Perhitungan saya
tepat. Dis memang melihat saya, tapi tak menyapa. Dia malah senyum, sambil
tetap ngobrol dengan sang tamu. Saya cepat lari naik tangga lantai 2, menuju
mesin ketik, mengetik "Surabaya, JP”. Sudah. Tujuannya supaya mesin ketik
itu tak dipakai wartawan lain. Maklum, jumlah mesin terbatas. Lanjut ke meja
telepon, ngebel sana-sini.
Saat ngebel dan belum dapat berita, saya
lihat Dis naik tangga, menuju ruang redaksi. Dari jauh, dia sudah melihat saya.
Pasti dia mau menyapa. Raut wajahnya kelihatan geram melirik saya.
Sebagai gambaran, mencari berita via
telepon: Dilarang keras, kecuali untuk keperluan konfimasi (sudah dapat berita
di lapangan, lalu konfirmasi ke pejabat). Sebab, selain pemborosan pulsa, juga
– ini paling penting – berita yang dibuat wartawan pasti jelek, tanpa
deskripsi.
Segera telepon saya letakkan, dan
bergerak menuju toilet. Dis tak punya kesempatan menyapa, karena jarak kami
masih lebih dari 10 meter. Apalagi, puluhan wartawan dan redaktur hiruk-pikuk,
sibuk luar biasa.
Di dalam toilet, saya benar-benar
terdesak. Panik hebat. Harapan saya satu-satunya, moga-moga Dis larut dengan
kesibukan. Sehingga dia lengah. Lalu saya bisa kembali ke telepon, atau… nggak
usah, deh. Lebih baik kabur, pulang.
Jika saya sampai dicegat Pak Dahlan,
saya bakal dipermalukan di khalayak Redaksi. Puluhan Redaktur dan Wartawan akan
memandang saya sebagai orang tolol. Takut sekaligus menyesal. Kalau tahu begini
jadinya, mending tadi pulang saja.
Betapa pun lamanya di toilet, toh saya
harus keluar juga. Begitu pintu saya buka, Dis sudah siaga sekitar dua meter
dari toilet. Jadi, selama beberapa menit terakhir dia hanya mengejar saya.
"Beritamu apa, Dwo?" sapanya. Wajahnya mengkerut, jelas kelihatan
marah. Saya sudah kencing, rasanya kok mau kencing lagi.
PERMAINAN, BARU DIMULAI...
Reflek saya jawab : "Biografi
pembunuh yang tertangkap kemarin, Pak". Dia takjub, tak menyangka. Berita
pembunuhan yang dimuat semua koran hari ini, menghebohkan Surabaya. Dengan
wajah heran, dia bertanya: "Narasumbernya siapa?" Saya berusaha
tegas: "Keluarganya, Pak.”
Seketika wajah Dis berubah berseri-seri.
Dia lantas berteriak keras-keras: "Dirman.... Dirman.... Ini boksnya.
Berita dwo, profil Pembunuh....." Teriakan itu menarik perhatian puluhan
wartawan dan redaktur yang semula sibuk. Ini suasana biasa disana, setiap ada
berita kategori menarik.
Orang yang dipaggil Dirman adalah
Sudirman, Redaktur Kota, beranjak dari duduknya, lalu basa-basi menghampiri
Dis. "Siap, Pak," ujarnya. Kemudian Dirman mendekati saya, "Cepat
diketik, Dwo. Deadline kita hari ini maju, lho," ujarnya. Saya: “Siap…”
Saya menuju mesin ketik tadi, mencabut
kertas bertuliskan "Surabaya, JP”, menggantinya dengan kertas baru. Sebab,
boks (berita bawah yang dibatasi garis kotak itu) tak perlu tanda
"Surabaya, JP”.
Baru, saya minta izin Dirman, "Saya
keluar makan dulu, Mas." Diizinkan, "Cepat, Dwo. Deadline maju lho,
ya," katanya mengulang, sambil menunjuk ke wajah saya. Saya
gemetar:”Siaaaap…. (Depok, 11 Sept 2011)
(Saya benar-benar merasa sangat
tertekan. Tindakan gendheng ini jangan ditiru wartawan muda. Lalu, bagaimana
saya mengatasinya? Tunggu sambungan posting ini, Sabtu, 14 Apr 2012)
Artikel yang menarik. Sukses untukmu.
BalasHapussukses untukmu jg zal.. sukses utk S2 mu jg.. ;D
BalasHapusmantap.. sangat mantap.. tapi pengen tau bagaimana kelanjutannya.. hehe
BalasHapus