Diam yang
menahun. Pelukan telah berubah menjadi senyap. Tak ada siapa pun di sana. Kamu
tiada.
Saya masih
bisa merasakan bisingnya suara kendaraan. Serta berantakannya kata yang muncul
dalam otak. Padahal kamu ada di samping saya, tapi terasa berdinding.
Sebuah buku
dibungkus dengan koran. Kamu memberikannya, saya sudah bisa menebak isinya.
Sebuah Rectoverso. Ternyata benar, itu adalah jiwa menahun antara musik dan
kata.
“Sedari tadi kamu seperti orang kesakitan, merangkul erat
badanmu sendiri dengan mulut terkatup rapat dan rahang mengencang. Aku ingin
bilang, aku paham kenapa kamu sakit. Namun tak sepatah kata pun keluar. Aku
ingin bilang, aku sakit melihat kamu sakit. Namun bungkusan udara ini
memberangus kita berdua.” (Peluk)
Tiga minggu
sebelumnya, tepat ulang tahun ke 21, dari bukit Gunung Kawi Malang, saya
bergegas menuju jantungnya Malang, ke sebuah toko buku. Hanya membeli sebuah
Rectoverso.
Hampir 30 hari
ia menemani saya. Halaman demi halaman dibaca dengan seksama sampai lecek, saya
tahu dan yakin ada kamu di sana. Kamu yang dalam Peluk. Kamu yang menahun itu.
Udara masih
terasa senyap. Masih tak ada siapa pun di sana, meski saya sudah berteriak dan meraung
berulang kali. Gelap.
“Hati-hati, lenganku melonggar, melepaskan tubuhmu. Aku tahu
aku telah dimengerti, meski sekali saja pelukanku.”
Aliran ini memecah. Indah. Meski aku berbalik pergi dan tak
kembali.
Malang, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar