Minggu, 27 Mei 2012

-Rectoverso-


Diam yang menahun. Pelukan telah berubah menjadi senyap. Tak ada siapa pun di sana. Kamu tiada.

Saya masih bisa merasakan bisingnya suara kendaraan. Serta berantakannya kata yang muncul dalam otak. Padahal kamu ada di samping saya, tapi terasa berdinding.

Sebuah buku dibungkus dengan koran. Kamu memberikannya, saya sudah bisa menebak isinya. Sebuah Rectoverso. Ternyata benar, itu adalah jiwa menahun antara musik dan kata.

“Sedari tadi kamu seperti orang kesakitan, merangkul erat badanmu sendiri dengan mulut terkatup rapat dan rahang mengencang. Aku ingin bilang, aku paham kenapa kamu sakit. Namun tak sepatah kata pun keluar. Aku ingin bilang, aku sakit melihat kamu sakit. Namun bungkusan udara ini memberangus kita berdua.” (Peluk)

Tiga minggu sebelumnya, tepat ulang tahun ke 21, dari bukit Gunung Kawi Malang, saya bergegas menuju jantungnya Malang, ke sebuah toko buku. Hanya membeli sebuah Rectoverso.

Hampir 30 hari ia menemani saya. Halaman demi halaman dibaca dengan seksama sampai lecek, saya tahu dan yakin ada kamu di sana. Kamu yang dalam Peluk. Kamu yang menahun itu.

Udara masih terasa senyap. Masih tak ada siapa pun di sana, meski saya sudah berteriak dan meraung berulang kali. Gelap.

“Hati-hati, lenganku melonggar, melepaskan tubuhmu. Aku tahu aku telah dimengerti, meski sekali saja pelukanku.”

Aliran ini memecah. Indah. Meski aku berbalik pergi dan tak kembali.

                                                                                      Malang, 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar