Jumat, 04 Mei 2012

#Enam


Pelajaran Ketiga:
Dua hari yang lalu ada banyak kejutan aneh sekaligus menambah lagi pelajaran hidup jadi wartawan. Why? Setiap kali ada pantulan agenda dari kawan-kawan, maupun setiap saya datang ke sebuah acara, saya tidak pernah berprasangka buruk.

Saya hanya datang untuk mencari berita, berkenalan dengan narasumber, dan gencar mencari nomor kontaknya. Begitu pun dengan hari ini.

Acara pertama, saya tiba di sebuah acara punya dinas. Temanya kesenian di ruang publik. Beragam kesenian Betawi dihadirkan dari lenong, gambang kromong, serta tari-tarian. Saya mengerti akan ide dan konsep acara. Hanya saja, pertanyaan saya lebih menohok.

“Jika acaranya dari bulan Mei hingga Oktober nanti dan dilaksanakan di 20 pusat perbelanjaan, hotel dan lima taman di Jakarta, bagaimana caranya warga Jakarta yang ingin melihatnya? Misalnya ia ingin melihat tarian Betawi di Suropati? Gimana aksesnya?”

Si narasumber hanya menjawab, “Lihat melalui website kami.”

Saya: “Kalau di Jiffest atau film gratis di Kineforum itu kan ada websitenya, ada jadwal acaranya? Nah, ini kan acara lama banget gimana mereka bisa tau jadwalnya?”

Si narasumber keukeuh pada jawaban pertama. Saya kembali menjelaskan, “Maksud saya pak, kalau tarian dari Sanggar ini lagi dipentaskan di Taman Ayodia atau Suropati terus antuasias masyarakat tinggi banget. Itu buat ficer kan bagus banget pak, kan bisa tinggiin nama bapak juga kalau berhasil.”

Untuk sekian kalinya, ia berkelit dan tetap pada jawaban pertama. Malahan kali ini ia menjelaskan ide dan konsep yang mereka inginkan. Saya sudah paham itu, tapi kalau namanya program doang terus enggak ada realisasinya, sama saja dong. Itu dalam hati saya.

Teman samping saya mencolek saya, “Udahlah, itu juga kan namanya dinas. Lo kayak enggak tahu saja.”

Whats? Saya bengong, makan nasi padang seperti menggerutu sendirian. Hati saya ada perasaan aneh. Salah ini! Ada yang tidak benar dengan acara ini, dengan program ini dan si narasumbernya terasa aneh.

Sejam kemudian, saya tetap tidak bisa menulis berita itu. Tangannya kaku. Terlalu normatif acaranya. Namun, saya tetap harus menulisnya sebagai laporan. Saya baru bisa menulis ketika sore hari dan itu sambil memaki diri saya. Ini bukan yang ingin saya tulis.

2 komentar:

  1. Memang selalu begini acara yang dibuat oleh instansi pemerintahan..

    BalasHapus
  2. yups, sayangnya rata-rata seperti itu.. tapi kalau ada opsi kedua yah lbh baik cari opsi kedua dgn merubah angle, hehee..

    BalasHapus