Pelajaran
Ketiga:
Dua hari yang
lalu ada banyak kejutan aneh sekaligus menambah lagi pelajaran hidup jadi
wartawan. Why? Setiap kali ada pantulan agenda dari kawan-kawan, maupun setiap
saya datang ke sebuah acara, saya tidak pernah berprasangka buruk.
Saya hanya
datang untuk mencari berita, berkenalan dengan narasumber, dan gencar mencari
nomor kontaknya. Begitu pun dengan hari ini.
Acara pertama,
saya tiba di sebuah acara punya dinas. Temanya kesenian di ruang publik.
Beragam kesenian Betawi dihadirkan dari lenong, gambang kromong, serta
tari-tarian. Saya mengerti akan ide dan konsep acara. Hanya saja, pertanyaan
saya lebih menohok.
“Jika acaranya
dari bulan Mei hingga Oktober nanti dan dilaksanakan di 20 pusat perbelanjaan,
hotel dan lima taman di Jakarta, bagaimana caranya warga Jakarta yang ingin
melihatnya? Misalnya ia ingin melihat tarian Betawi di Suropati? Gimana
aksesnya?”
Si narasumber hanya
menjawab, “Lihat melalui website kami.”
Saya: “Kalau
di Jiffest atau film gratis di Kineforum itu kan ada websitenya, ada jadwal
acaranya? Nah, ini kan acara lama banget gimana mereka bisa tau jadwalnya?”
Si narasumber
keukeuh pada jawaban pertama. Saya kembali menjelaskan, “Maksud saya pak, kalau
tarian dari Sanggar ini lagi dipentaskan di Taman Ayodia atau Suropati terus
antuasias masyarakat tinggi banget. Itu buat ficer kan bagus banget pak, kan
bisa tinggiin nama bapak juga kalau berhasil.”
Untuk sekian
kalinya, ia berkelit dan tetap pada jawaban pertama. Malahan kali ini ia
menjelaskan ide dan konsep yang mereka inginkan. Saya sudah paham itu, tapi
kalau namanya program doang terus enggak ada realisasinya, sama saja dong. Itu
dalam hati saya.
Teman samping
saya mencolek saya, “Udahlah, itu juga kan namanya dinas. Lo kayak enggak tahu
saja.”
Whats? Saya
bengong, makan nasi padang seperti menggerutu sendirian. Hati saya ada perasaan
aneh. Salah ini! Ada yang tidak benar dengan acara ini, dengan program ini dan
si narasumbernya terasa aneh.
Sejam
kemudian, saya tetap tidak bisa menulis berita itu. Tangannya kaku. Terlalu
normatif acaranya. Namun, saya tetap harus menulisnya sebagai laporan. Saya
baru bisa menulis ketika sore hari dan itu sambil memaki diri saya. Ini bukan
yang ingin saya tulis.
Memang selalu begini acara yang dibuat oleh instansi pemerintahan..
BalasHapusyups, sayangnya rata-rata seperti itu.. tapi kalau ada opsi kedua yah lbh baik cari opsi kedua dgn merubah angle, hehee..
BalasHapus