Pelajaran
pertama:
Saat itu saya
masih semester lima, masih jadi reporter kampus, serta mahasiswi Jurnalistik.
Dosen mata kuliah ‘Kode Etik Jurnalistik’ dengan materi wartawan amplop. Sebuah
pertanyaan sederhana yang dilontarkannya kepada isi kelas; Bagaimana pendapatmu
tentang Kode Etik Jurnalistik?
Saya pemekalah
bersama dua orang rekan lainnya. Mereka cenderung pasif, dan saya lebih vokal
menyampaikan pendapat dan isi makalah. Saya katakan; Kode etik itu seperti
kitabnya bagi para jurnalis, yang mana menjadi pegangan, acuan, arahan, dan
harus selalu dipakai dalam tutur dan tindakannya. Singkatnya, ia adalah kitab
sakral.
Sebagian kelas
menyetujui hal tersebut, sisanya cenderung diam dan tak memilih. Lima belas
menit sebelum kelas selesai, ia mematahkan semua argumen. Dengan sebuah studi
kasus, analogi dan kesimpulan membingungkan.
Kode etik itu
sampah, katanya. Semua jurnalis tidak ada yang memegang kitab sakral itu. Tidak
ada satu pun. Mengapa sampah? Tanya saya di dalam kelas, dan itu hanya saya
yang bertanya.
Ketika itu
hanya menjadi teori, acuan teks tanpa ada yang memegangnya maka bukankah itu
dianggap sampah? Saya tertegun. Diam. Bingung.
Untuk terakhir
kalinya, ia bertanya kepada kelas. Siapa yang di kelas ini menganggap kode etik
itu sampah harap tunjuk tangan? Sekitar tiga per empat suara menyatakan iya,
tidak termasuk saya.
Pelajaran
kedua:
Saat itu Ujian
Akhir Semester (UAS), hanya ada tiga soal. Saya ingat betul soal itu. Soal
pertama tentang straight news dan soal kedua feature. Kami diharuskan menulis
berita tersebut dengan data yang sudah ada dan tentunya tetap ada 5 W 1 H. Soal
ketiga ini sifatnya personal.
“Apa
pendapatmu tentang kode etik jurnalistik, khususnya wartawan amplop?” Glek. Saya
tertegun. Jika soal ketiga salah, ditambah dengan kesalahan soal satu dan dua,
tentunya tidak lulus.
Apa yang
menjadi kualifikasi untuk menyatakan soal ketiga ini benar? Apa syaratnya? Apa yang
ada di benak dosen itu ketika melontarkan pertanyaan seperti ini dalam UAS?
Apa?
Seorang teman
perempuan, ia aktivis dan aktif di Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci), secara
diam-diam ia membisikkan kepada saya. “Nes, lo mau jawab apa?” Dengan entengnya
saya menjawab, “Masih sama dengan argumen yang kemarin. Tetap pada pendirian
gue.”
Ketika saya
tanya balik, ia menjawab, “Gue enggak berani ahh, kalo keukeuh anggap kode etik
itu suci. Lagian amplop juga kan pasti nanti butuh, apalagi kalau enggak
sejahtera. Jadi gue berubah pendapat deh, si bapak anggep kode etik itu sampah,
gue ikut pendapat bapak dosen,” ujarnya.
Glek! Saya
nahan ludah. Kemarin ia ikut membela pendapat saya, kini demi nilai 100 persen
ia berbalik arah. Saya menimbang-nimbang akan memilih apa, menjawab dengan
kata-kata lugas seperti apa.
Enggak tahu
kenapa, hanya cukup lima menit saya menjawab pertanyaan ketiga. Tepat ketika
waktu ujian akan berakhir. Masih pada argumen yang sama.
Keluar kelas
perempuan itu kembali menghampiri, “Nes, kata kelas sebelah, itu dosen enggak
suka kalau ada mahasiswanya yang beda pendapat sama dia. Katanya bakal langsung
diblack list.”
Yups, skak
mat! Busur panah sudah dihantam, masa mau dibalikkan kembali. Ah, tidak
mungkin. Anehnya, hati saya kok enggak deg-degan. Biasa-biasa saja. Saya merasa
yakin. Entah ada perasaan apa.
Usai pembagian
nilai, di kelas hanya saya yang mendapatkan 100, sisanya dapet 95 dan ke bawah.
Sontak saya jadi bahagia, enggak tahu nama perasaan ini apa. Puas sekaligus
aneh.
Di fakultas,
saya bertemu dirinya, sebenarnya ia mengajar Filsafat di Fakultas Ushuluddin
dan Ilmu Filsafat namun karena hampir sepuluh tahun lebih ia menjadi wartawan
di media nasional serta kuliah S2 di Inggris, maka ia diamanahkan mengajar di
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM) UIN Ciputat.
Tubuhnya
tambun dan tidak terlalu tinggi tapi warna kulitnya putih. Ia sering memakai
jas dan kemeja. Saya ingat betul ia memiliki kumis. Pembawaannya tegas dan
berwibawa, tidak pernah menganggap orang rendah. Di dalam kelas, ia selalu
memakai bahasa Inggris, tidak pernah mengajarkan teori jurnalistik secara
tekstual dan normatif. Ia mengajarkan apa yang disebut, “belajar di luas teks.”
Menurut saya, ia berpandangan pluralisme, bahkan ia mempersilahkan mahasiswanya
untuk merokok dan makan permen jika mengantuk.
Saya ingat
senyumnya dan ia satu-satunya dosen yang memanggil saya dengan panggilan ‘Tia’.
Ia tersenyum. “Keep ur argumen. Kamu akan tahu apa yang akan terjadi sebenarnya
dalam dunia wartawan, dan itu jika kamu benar memilih menjadi wartawan.”
Saya diam,
hanya tersenyum. Bukan nyengir. Ternyata perkataannya benar. Saya merasakannya
belakangan ini.
Pasar Minggu,
4 Mei 2012 menjelang tengah malam
Inilah fenomena kebanyakan mahasiswa di Indonesia..tak berani beragurmentasi dalam debat ilmu pengetahuan. Untungnya mbak Edelweiss bukan salah satu mahasiswa yang un-invert
BalasHapus