Jumat, 04 Mei 2012

#Lima


Pelajaran pertama:
Saat itu saya masih semester lima, masih jadi reporter kampus, serta mahasiswi Jurnalistik. Dosen mata kuliah ‘Kode Etik Jurnalistik’ dengan materi wartawan amplop. Sebuah pertanyaan sederhana yang dilontarkannya kepada isi kelas; Bagaimana pendapatmu tentang Kode Etik Jurnalistik?

Saya pemekalah bersama dua orang rekan lainnya. Mereka cenderung pasif, dan saya lebih vokal menyampaikan pendapat dan isi makalah. Saya katakan; Kode etik itu seperti kitabnya bagi para jurnalis, yang mana menjadi pegangan, acuan, arahan, dan harus selalu dipakai dalam tutur dan tindakannya. Singkatnya, ia adalah kitab sakral.

Sebagian kelas menyetujui hal tersebut, sisanya cenderung diam dan tak memilih. Lima belas menit sebelum kelas selesai, ia mematahkan semua argumen. Dengan sebuah studi kasus, analogi dan kesimpulan membingungkan.

Kode etik itu sampah, katanya. Semua jurnalis tidak ada yang memegang kitab sakral itu. Tidak ada satu pun. Mengapa sampah? Tanya saya di dalam kelas, dan itu hanya saya yang bertanya.

Ketika itu hanya menjadi teori, acuan teks tanpa ada yang memegangnya maka bukankah itu dianggap sampah? Saya tertegun. Diam. Bingung.

Untuk terakhir kalinya, ia bertanya kepada kelas. Siapa yang di kelas ini menganggap kode etik itu sampah harap tunjuk tangan? Sekitar tiga per empat suara menyatakan iya, tidak termasuk saya.


Pelajaran kedua:
Saat itu Ujian Akhir Semester (UAS), hanya ada tiga soal. Saya ingat betul soal itu. Soal pertama tentang straight news dan soal kedua feature. Kami diharuskan menulis berita tersebut dengan data yang sudah ada dan tentunya tetap ada 5 W 1 H. Soal ketiga ini sifatnya personal.

“Apa pendapatmu tentang kode etik jurnalistik, khususnya wartawan amplop?” Glek. Saya tertegun. Jika soal ketiga salah, ditambah dengan kesalahan soal satu dan dua, tentunya tidak lulus.

Apa yang menjadi kualifikasi untuk menyatakan soal ketiga ini benar? Apa syaratnya? Apa yang ada di benak dosen itu ketika melontarkan pertanyaan seperti ini dalam UAS? Apa?

Seorang teman perempuan, ia aktivis dan aktif di Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci), secara diam-diam ia membisikkan kepada saya. “Nes, lo mau jawab apa?” Dengan entengnya saya menjawab, “Masih sama dengan argumen yang kemarin. Tetap pada pendirian gue.”

Ketika saya tanya balik, ia menjawab, “Gue enggak berani ahh, kalo keukeuh anggap kode etik itu suci. Lagian amplop juga kan pasti nanti butuh, apalagi kalau enggak sejahtera. Jadi gue berubah pendapat deh, si bapak anggep kode etik itu sampah, gue ikut pendapat bapak dosen,” ujarnya.

Glek! Saya nahan ludah. Kemarin ia ikut membela pendapat saya, kini demi nilai 100 persen ia berbalik arah. Saya menimbang-nimbang akan memilih apa, menjawab dengan kata-kata lugas seperti apa.

Enggak tahu kenapa, hanya cukup lima menit saya menjawab pertanyaan ketiga. Tepat ketika waktu ujian akan berakhir. Masih pada argumen yang sama.

Keluar kelas perempuan itu kembali menghampiri, “Nes, kata kelas sebelah, itu dosen enggak suka kalau ada mahasiswanya yang beda pendapat sama dia. Katanya bakal langsung diblack list.”

Yups, skak mat! Busur panah sudah dihantam, masa mau dibalikkan kembali. Ah, tidak mungkin. Anehnya, hati saya kok enggak deg-degan. Biasa-biasa saja. Saya merasa yakin. Entah ada perasaan apa.

Usai pembagian nilai, di kelas hanya saya yang mendapatkan 100, sisanya dapet 95 dan ke bawah. Sontak saya jadi bahagia, enggak tahu nama perasaan ini apa. Puas sekaligus aneh.

Di fakultas, saya bertemu dirinya, sebenarnya ia mengajar Filsafat di Fakultas Ushuluddin dan Ilmu Filsafat namun karena hampir sepuluh tahun lebih ia menjadi wartawan di media nasional serta kuliah S2 di Inggris, maka ia diamanahkan mengajar di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM) UIN Ciputat.

Tubuhnya tambun dan tidak terlalu tinggi tapi warna kulitnya putih. Ia sering memakai jas dan kemeja. Saya ingat betul ia memiliki kumis. Pembawaannya tegas dan berwibawa, tidak pernah menganggap orang rendah. Di dalam kelas, ia selalu memakai bahasa Inggris, tidak pernah mengajarkan teori jurnalistik secara tekstual dan normatif. Ia mengajarkan apa yang disebut, “belajar di luas teks.” Menurut saya, ia berpandangan pluralisme, bahkan ia mempersilahkan mahasiswanya untuk merokok dan makan permen jika mengantuk.

Saya ingat senyumnya dan ia satu-satunya dosen yang memanggil saya dengan panggilan ‘Tia’. Ia tersenyum. “Keep ur argumen. Kamu akan tahu apa yang akan terjadi sebenarnya dalam dunia wartawan, dan itu jika kamu benar memilih menjadi wartawan.”

Saya diam, hanya tersenyum. Bukan nyengir. Ternyata perkataannya benar. Saya merasakannya belakangan ini.

Pasar Minggu, 4 Mei 2012 menjelang tengah malam

1 komentar:

  1. Inilah fenomena kebanyakan mahasiswa di Indonesia..tak berani beragurmentasi dalam debat ilmu pengetahuan. Untungnya mbak Edelweiss bukan salah satu mahasiswa yang un-invert

    BalasHapus