Dua jam sebelum buka puasa tiba Kamis
(2/8), saya berjanji bertemu dengan
pengamat komik Hikmat Darmawan. Ia tiba ke Warung Solo Jeruk Purut Cilandak
dengan motornya tepat pukul 4 sore. Dari kejauhan, tampak itu adalah Hikmat.
Pria dengan ciri khas rambut gondrongnya diikat ke belakang, bertubuh tambun
memakai kaos berwarna hitam serta kemeja flanel berwarna hijau kotak-kotak.
Setelah lima menit pertama perkenalan,
obrolan sudah masuk mengenai komik. Wajahnya pun tampak bersemangat dan
berkobar-kobar ketika menceritakan kembali sejarah komik Indonesia. Dimulai dari era Raden Ahmad Kosasih
yang baru wafat pekan lalu. “Komik Indonesia dimulai dari masa R.A Kosasih pada
1953,” ujar penulis How To Make Comic yang diterbitkan Plot Point.
Hikmat Darmawan adalah pengamat budaya
populer, dengan minat pada komik dan film. Kumpulan esainya yang berjudul Dari Gatot Kaca Hingga Batman:
Potensi-potensi Naratif Komik (Yogyakarta: Penerbit Orakel, 2005) sedang
dikemas ulang. Saat ini ia adalah redaktur di rumahfilm.org.
Ia bercerita bahwa Kosasih memulai tren
pada masanya dengan ciri komik wayang. Menurutnya, setiap karya dari Kosasih
ikonik dan dekat dengan masyarakat. Pada tahun pertama, Kosasih muncul dengan Sri Asih. Karyanya terhitung sudah ada
hingga 100 komik. “Itu yang menjadikan setiap karyanya kuat sampai sekarang,”
ujarnya.
Sambil menunggu adzan Magrib, sampailah
di bagian paling seru yang diceritakan Hikmat yaitu perbandingan pendapatan
ekonomi seorang komikus masa dulu dan kini. Percakapan makin seru dan matanya
tampak berbinar ketika menceritakan hal ini.
Sebelum jadi komikus, Kosasih adalah
karyawan di Departemen Pertanian. Gajinya saat itu, setiap bulannya hanya Rp
140. “Tapi ketika ia membuat Sri Asih, Kosasih dibayar Rp 4 ribu. Belum lagi
dengan penghasilan serial Sri Asih lainnya. Bayangkan perbedaan angka yang
sangat jauh sekali dulu dan kini,” ujarnya tertawa.
Pada masa kejayaannya, komikus yang
lahir 4 April 1919 ini mampu menjual puluhan ribu eksemplar per judulnya.
Seperti serial Sri Asih yang menggunakan kostum wayang Sunda dan menceritakan
cerita yang populer di masyarakat. Ia juga bisa menghidupi keluarganya hanya
dengan profesi komikus.
“Sampai tahun 80an akhir atau awal 90an,
komikus juga masih dianggap sebagai bintang film. Ketika mereka datang,
disambut bagai artis. Dielu-elukan. Para penggemar ada yang mencari
karakternya, ada juga yang komikusnya. Artinya kan kondisi seperti itu berbeda jauh dengan sekarang,” kata Hikmat.
Pada awal tahun 1990an, Hikmat
mengatakan itulah masa komik lokal mengalami kekosongan dari segi industri
maupun kuantitas karya. “Khususnya di bagian infarstruktur penerbitan.”
Penyebabnya, salah satu grup penerbit
besar di Jakarta mulai mengembangkan bisnisnya. Serta tampaknya salah satu
cabang penerbitnya serius dalam bisnis komik. Penerbit tersebut mulai
menerjemahkan komik Jepang, Eropa, dan Amerika Serikat.
Tentunya, dari segi biaya lebih murah
karena hanya menerjemahkan saja. Sayangnya, lanjut Hikmat, keadaan inilah yang
membuat komikus tidak bisa menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya.
Menurutnya, banyak komikus asal
Indonesia yang mendulang dollar di Amerika dengan jadi penggambar di karakter
Superman dan Batman. “Bayangkan mereka bisa dibayar sekitar $ 200 setiap halamannya,
kalau di Indonesia paling banyak Rp 200 ribu per halaman. Itu pun penerbit
sudah teriak mahal, meski enggak sepenuhnya
salah penerbit juga.”
Hikmat mengatakan, kondisi industri
komik dari tahun 1990an hingga sekarang ini masih merangkak membangun dirinya.
Ada dua hal yang menjadi faktor perkembangan industri komik. Pertama dari segi
kuantitas karya setiap komikus masih kurang. Kedua, dari infrastruktur penerbit
di Jakarta.
“Tapi tetap saja, menurut saya setiap
komikus itu diterbitkan atau tidak diterbitkan karyanya di penerbit mainstream,
mereka masih jadi komikus. Mereka masih bisa menerbitkan secara indie dan
berkumpul di festival komik dengan komikus lainnya.”
Di antaranya komikus Titah Larasati
dengan ‘Curhat Tita’, Aji Prasetyo dengan ‘Life is Beautiful’, Beng Rahadian
dengan karya ‘Selamat Pagi Urbas,’ serial ‘Benny and Mice’ oleh Benny Rachamadi
dan Mihammad Mice Misrad.
Tia Agnes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar