Sabtu, 04 Agustus 2012

Komikus Dulu dan Kini


Dua jam sebelum buka puasa tiba Kamis (2/8), saya berjanji bertemu dengan pengamat komik Hikmat Darmawan. Ia tiba ke Warung Solo Jeruk Purut Cilandak dengan motornya tepat pukul 4 sore. Dari kejauhan, tampak itu adalah Hikmat. Pria dengan ciri khas rambut gondrongnya diikat ke belakang, bertubuh tambun memakai kaos berwarna hitam serta kemeja flanel berwarna hijau kotak-kotak.

Setelah lima menit pertama perkenalan, obrolan sudah masuk mengenai komik. Wajahnya pun tampak bersemangat dan berkobar-kobar ketika menceritakan kembali sejarah komik Indonesia. Dimulai dari era Raden Ahmad Kosasih yang baru wafat pekan lalu. “Komik Indonesia dimulai dari masa R.A Kosasih pada 1953,” ujar penulis How To Make Comic yang diterbitkan Plot Point.

Hikmat Darmawan adalah pengamat budaya populer, dengan minat pada komik dan film. Kumpulan esainya yang berjudul Dari Gatot Kaca Hingga Batman: Potensi-potensi Naratif Komik (Yogyakarta: Penerbit Orakel, 2005) sedang dikemas ulang. Saat ini ia adalah redaktur di rumahfilm.org.

Ia bercerita bahwa Kosasih memulai tren pada masanya dengan ciri komik wayang. Menurutnya, setiap karya dari Kosasih ikonik dan dekat dengan masyarakat. Pada tahun pertama, Kosasih muncul dengan Sri Asih. Karyanya terhitung sudah ada hingga 100 komik. “Itu yang menjadikan setiap karyanya kuat sampai sekarang,” ujarnya.

Sambil menunggu adzan Magrib, sampailah di bagian paling seru yang diceritakan Hikmat yaitu perbandingan pendapatan ekonomi seorang komikus masa dulu dan kini. Percakapan makin seru dan matanya tampak berbinar ketika menceritakan hal ini.


Sebelum jadi komikus, Kosasih adalah karyawan di Departemen Pertanian. Gajinya saat itu, setiap bulannya hanya Rp 140. “Tapi ketika ia membuat Sri Asih, Kosasih dibayar Rp 4 ribu. Belum lagi dengan penghasilan serial Sri Asih lainnya. Bayangkan perbedaan angka yang sangat jauh sekali dulu dan kini,” ujarnya tertawa.

Pada masa kejayaannya, komikus yang lahir 4 April 1919 ini mampu menjual puluhan ribu eksemplar per judulnya. Seperti serial Sri Asih yang menggunakan kostum wayang Sunda dan menceritakan cerita yang populer di masyarakat. Ia juga bisa menghidupi keluarganya hanya dengan profesi komikus.

“Sampai tahun 80an akhir atau awal 90an, komikus juga masih dianggap sebagai bintang film. Ketika mereka datang, disambut bagai artis. Dielu-elukan. Para penggemar ada yang mencari karakternya, ada juga yang komikusnya. Artinya kan kondisi seperti itu berbeda jauh dengan sekarang,” kata Hikmat.

Pada awal tahun 1990an, Hikmat mengatakan itulah masa komik lokal mengalami kekosongan dari segi industri maupun kuantitas karya. “Khususnya di bagian infarstruktur penerbitan.”

Penyebabnya, salah satu grup penerbit besar di Jakarta mulai mengembangkan bisnisnya. Serta tampaknya salah satu cabang penerbitnya serius dalam bisnis komik. Penerbit tersebut mulai menerjemahkan komik Jepang, Eropa, dan Amerika Serikat.

Tentunya, dari segi biaya lebih murah karena hanya menerjemahkan saja. Sayangnya, lanjut Hikmat, keadaan inilah yang membuat komikus tidak bisa menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya.

Menurutnya, banyak komikus asal Indonesia yang mendulang dollar di Amerika dengan jadi penggambar di karakter Superman dan Batman. “Bayangkan mereka bisa dibayar sekitar $ 200 setiap halamannya, kalau di Indonesia paling banyak Rp 200 ribu per halaman. Itu pun penerbit sudah teriak mahal, meski enggak sepenuhnya salah penerbit juga.”

Hikmat mengatakan, kondisi industri komik dari tahun 1990an hingga sekarang ini masih merangkak membangun dirinya. Ada dua hal yang menjadi faktor perkembangan industri komik. Pertama dari segi kuantitas karya setiap komikus masih kurang. Kedua, dari infrastruktur penerbit di Jakarta.

“Tapi tetap saja, menurut saya setiap komikus itu diterbitkan atau tidak diterbitkan karyanya di penerbit mainstream, mereka masih jadi komikus. Mereka masih bisa menerbitkan secara indie dan berkumpul di festival komik dengan komikus lainnya.”

Di antaranya komikus Titah Larasati dengan ‘Curhat Tita’, Aji Prasetyo dengan ‘Life is Beautiful’, Beng Rahadian dengan karya ‘Selamat Pagi Urbas,’ serial ‘Benny and Mice’ oleh Benny Rachamadi dan Mihammad Mice Misrad.

Tia Agnes

Tidak ada komentar:

Posting Komentar