Jumat, 16 Maret 2012

Satu

Ketika menginjak usia 20 tahunan, saya mulai berpikir tentang impian dan profesi. Sebuah impian yang pada akhirnya menjadikan profesi bagi hidup saya. Memiliki hobi menulis-meski abstrak- membuat saya ingin terjun di dunia tulis menulis, entah penerbitan atau apapun. Tapi, menurut saya ada dua profesi yang benar-benar berjasa di dunia ini. Menjadi seorang guru dan jurnalis. 

Dari zaman saya Taman Kanak-Kanak, saya selalu terpukau dengan metode pembelajaran seorang guru, karakternya memahami murid-muridnya serta gaji yang nggak setimpal dengan beban profesinya. Baik guru taman kanak-kanak hingga dosen di kampus, selalu membuat saya terhenyak akan kecerdasan dan kepintarannya. 

Seorang jurnalis juga bagi saya bagaikan pahlawan. Ia rela berada di medan perang, berusaha untuk selamat dan menyampaikan kepada publik apa yang ia lihat di medan perang tersebut. Alhasil, saya memilih menjadi seorang jurnalis. 

***
Malam ini, dari sepanjang Jalan Kebon Sirih hingga menuju shelter Bank Indonesia, saya menyetel playlist di music blackberry gemini, yang ada tiba-tiba saya berhenti depan Gedung Dewan Pers dan menangis!

Dulu, seminggu setelah bekerja jadi jurnalis, ada dua narasumber yang nawarin 'jale', saya menolak. Dicibir sama wartawan lain, padahal sudah melipir dari mereka. Tapi, tetep saja. Abis menolak gitu jadi terenyuh. Baru segini doang pada nawarin macem-macem! Beginikah susahnya mencoba menjadi jurnalis idealis, halal, tolak 'jale', dan ingin belajar dengan jujur. 

Konflik seorang jurnalis tidak hanya dalam internal manajemen dengan jajaran redakturnya saja tapi juga kalangan sesama wartawan. Gilanya sistem 'take and give' saat terasa sekali. Beginikah menjadi jurnalis baru???

Tuhan selalu punya cara dan rencana sendiri tanpa kita ketahui apa yang akan terjadi atau bagaimanakah prediksiNya terhadap hidup saya kini. Saya menghela nafas, menggeleng, dan berkata entahlah. Mari tidurrr...

17 Maret 2012 pukul 03.49 Wib..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar