Minggu, 18 Maret 2012

Dua

Ternyata menjadi jurnalis itu berbeda dengan apa yang dibayangkan ketika di kampus. Seratus persen terbalik. 


Sejak awal di kampus lebih tepatnya Oktober 2006 masuk menjadi reporter magang di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTITUT UIN Ciputat hingga Desember 2011 sudah non aktif. Tahun pertama, benar-benar merasakan bagaimana menjadi seorang jurnalis kampus, belajar ilmu jurnalistik yang belum didapatkan ketika di kelas, dan tentunya belajar mereportase narasumber di lingkungan Ciputat. 


Tahun kedua di Institut, mulai megang apa yang namanya bagian promosi dan iklan. Mulailah belajar menjadi jurnalis dan memegang bagian iklan terbelah. Tidak seratus persen fokus. Tahun ketiga yaitu sekitar 2009 belajar menjadi bendahara organisasi dan seratus persen manajamen konflik. Kala itu, menjadi jurnalis mulai kehilangan insting. Terlalu sibuk dengan organisasi. 


Tahun keempat di Institut, selama satu setengah tahun dan harus menunda skripsi hingga setahun (padahal sebelumnya IPK di atas 3,60 dan sudah selesai semua mata kuliah) menjadi seorang pemimpin redaksi dan membawahi kawan-kawan persma yang masih baru. 


Banyak orang yang bilang kami sinting karna di organisasi hanya tiga orang (dede sebagai Pimpinan Umum, saya pimred, dan Lilis kesekretariatan). Tapi saya puas dan merasa fokus di bidang tersebut. Tinggallah masa menyelesaikan kepengurusan dan skripsi sebagai tanggungan di kampus. Lengkap lima tahun di kampus sekaligus Institut. 

Namun, apa yang baru saya sadari hari ini, belakangan ini adalah apa yang saya pelajari di kampus dan Institut tak sebanding dengan di kantor. Tak sama seperti apa yang terjadi di lapangan. 


Menjadi seorang jurnalis metropolitan dan jujur saya yang masih bodoh sana sini, membuat terkadang gigit jari dan cengo. Tak semudah yang dibayangkan. Tuhan pun telah membantu saya hingga berada pada jalur ini. 


Dari awal, teman-teman selalu bilang, "Bukannya lo yang paling niat jadi wartawan yah?" Yups, bener banget. Pertengahan masa, pada bulan keempat ini saya selalu berpikir, God nggak semua orang baik. Nggak semua orang bisa dipercaya, nggak semua redaktur bisa mengajarkan saya segala hal. 


Sehabis liputan saya suka merenung; menghadapi arahan redaktur, menghadapi kultur dan kebiasaan sesama wartawan di pos, main kirim-kiriman berita atau mengkloning (honestly I don't like it), banyak banget jale, harus belajar semua isu metropolitan, dan ketemu narasumber yang memang tidak wise dan sok sibuk. 


Tuhan tidak akan merubah kaumnya kalau bukan kaumnya yang mau berubah. Saya mau berubah. Saya mau belajar terhadap semua kultur itu dan seratus delapan puluh derajat yang telah merubah hidup saya belakangan ini. 


Tuhan ada di samping saya, di hati saya, saya yakin itu. Saya tahu itu. Maka tolong berikan saya arahanmu, jalan terbaikmu. Saya masih ingin dan terus belajar di Harian Detik (lebay mode on). 


Pasar Minggu, 19 Maret 2012 pukul 21.32 Wib

3 komentar:

  1. Masa sih nes terbalik. Kam lo tough girl :)

    BalasHapus
  2. angkringanwarta: makasih, belajar menjadi wartawan nih..

    aida: hahaa, kadang kala lapangan saat liputan di luar mimpi menjadikan wartawan sbg profesi. Tapi gw tetep mau belajar ay.. ;-D

    BalasHapus