Rabu, 23 November 2011

Refleksi dan Tuhan

Pernahkah anda ngobrol dengan Tuhan? Pernahkan anda merasa ketika semua jalan terasa membingungkan, redup, dan membutuhkan pertolongan atas semua jawaban dan ia menjawab-Nya. Bukan ngobrol secara fisicly namun antar hati. 

Saya menyakini Tuhan, menyakini bahwa Ia ada, menguasai segala sesuatu di langit dan bumi. Esa, Maha Mendengar dan Mengetahui segalanya. Yah, meski shalat masih bolong sana sini. Tapi, saya yakin Ia Ada. 

Lalu, bulan ini adalah bulan keenam saya dan menjelang akhir tahun 2011, tiap bulannya saya memang selalu merefleksikan segala sesuatu yang terjadi dalam hidup. Bulan ini, November ini, saya kembali mempertanyakan banyak hal. 

Apa impianmu? Apa jalan hidupmu selanjutnya? Apa yang paling kamu inginkan dalam hidup? Apakah kamu masih ingin terus kerja di sana? Apakah yang sekarang terjadi ini adalah hal yang kamu inginkan? Kapan kamu berencana menikah? Umur 30, seriuskah? Mengapa? Apa alasannya? Apa kamu nggak takut ketuaan? Bagaimana dengan umur pacarmu, kapankah kalian akan berencana menabung untuk menikah? Tahun depan kamu punya rencana apa dalam hidup? 

De el el, so on… ragam pertanyaan itu muncul dari otak, membuat saya tak selalu let it flow. Jantung berdegup tiap saat. Pikiran akan pilihan hidup bermacam-macam. Layaknya labirin yang kamu tidak tahu ada apa di setiap belokan. Semua misteri. 


Tiap kali kamu merasa baik-baik saja dalam jalur ini namun nyatanya tidak semua hal baik-baik saja. Justru terkadang hal yang baik-baik saja itu adalah boomerang terhadap sesuatu hal lainnya. Dan segala hal yang baik-baik itu terkadang menutup hal lainnya, menutup pilihan dan kesempatan lain. Langit bukan menjadi biru cemerlang, namun mendung yang kamu sendiri tak tahu apakah akan turun hujan atau badai. Segala sesuatu yang dipertanyakan maupun direncanakan di masa lalu akan berdampak ke kini dan depannya. 

Tuhan membuka tabir itu perlahan, sembari menyakini diri dan hati, Tuhan sedang menyiapkan sesuatu buat saya, sesuatu hal yang besar yang mungkin saya sendiri belum mengerti apa itu, seperti apakah bentuknya, apakah itu nion positif atau negatif. Saya tak tahu. 

Saya pun tak ingin mengalir dalam hidup tanpa adanya hasrat untuk mengerjakan sesuatu. Hidup saya takkan tenang. Selalu dan akan ada selalu ambisi hidup, harapan, dan keinginan menjadi lebih baik lagi. Saya percaya tak ada yang terbaik, meski ada pepatah ‘Pengalaman adalah guru yang terbaik.’ Yang harus dibawahi itu adalah kata ‘terbaik.’

Terbaik itu adalah relatif, subjektif hukumnya. Sama halnya beda tipis antara benci dan cinta. Terbaik itu tidak ada, yang ada hanyalah setiap pilihan yang kita pilih dan terdapat tanggung jawab besar di dalamnya. Seperti rasa dari kopi Luwak, kopi yang harganya selangit itu. Saya nggak akan pernah tahu rasa dari Kopi Luwak yang pahit dan asam itu jika saya takkan nyoba dengan nekatnya di kafe kopi bilangan Blok M. Meski saya sudah memberikan gula sesuai kadar biasanya namun ia tetap tak manis juga. Ditambah lagi dan lagi pun, rasanya malah aneh. Di balik ketenaran dan mahalnya kopi Luwak, si penyicip harus belajar. Pahitnya kopi Luwak dan hidup. 

Menerima keadaan dari kelamnya kopi Luwak dan susahnya proses pembuatan Kopi Luwak. Segala sesuatu terkadang tidak seperti luarnya. Kopi Luwak memberikan pelajaran bahwa dalam kopi itu, kita harus lebih berusaha giatnya untuk membuatnya tampak manis. Yups, bisa dibilang tampak manis dan indah untuk dinikmati. 

Tiga minggu ini, saya selalu berkata kepadaNya, “Tuhan apa jalan yang kau ridhoi? Jalan seperti apa yang akan diridhoi orang tua saya? Tunjukan kuasa Mu, berikan saya jawaban, petunjukMu dan kekuatan untuk menjalani ini semua.”

Dan, ia benar. Ia ada ketika kita butuhkan. Ia ada menjawab semuanya, hanya dalam hitungan tiga hari. Bagi saya sendiri, itu adalah penantian bertahun-tahun. BagiNya itu seperti membalikkan telapak tangan. Kun faya kun, maka terjadilah. Entah mengapa saya menjadi yakin dan akan beranjak ke sebuah dunia baru, tantangan yang lain. Jika kalian ingin menanyakan, apakah lo yakin nes? Dengan mantap saya akan berkata, “Ya, saya yakin! Diyakini dengan ridho Allah”

Seperti kata bung Nietsczhe, “Katakan iya untuk hidup.”

-Big hug deNezt- sisa hujan dari magrib di luar sana, ketika virus influenza dan migran menyerang, 23112011, pkl 19.59

5 komentar:

  1. tuhan ada dan hadir.namun ia tetaplah realitas yang pending. Setidaknya itu yang dengan malu-malu dikatakan J.Derrida

    BalasHapus
  2. Tuhan, banyak orang yang berdebat tentangNya, banyak orang yang begitu menyakiniNya sampai membunuh pengagum Tuhan yang lain.
    Saat ini, saya membaca tulisan hubungan hamba dengan Tuhan yang renyah, unik.

    BalasHapus
  3. @angkringanwarta;
    Tuhan ada dan dideskripsikan oleh pribadi masing2. Tuhan dalam nyawa, dalam urat nadi, dan dalam darah. Ia bersemayam indah. Tulisan ini tdk bermaksud mengagungkan Tuhan, Tuhan itu Esa.. dan semuanya kembali ke pribadi masing2.. Terserah anda..

    BalasHapus
  4. salam semangat juga angkringanwarta

    BalasHapus