Rabu, 26 Oktober 2011

Penjelajah Kehidupan


Elizabeth Gilbert rela meninggalkan perkawinannya, pekerjaannya, rumah mapannya di New York dan melakukan perjalanan ke tiga negara; Italia, India, dan Indonesia selama sembilan bulan. Trinity, seorang penjelajah juga melakukan hal yang sama. Ia memutuskan dengan nekat untuk sepenuhnya hanya menjadi “tukang jalan-jalan yang profesional.”

Frau, seorang pianis yang baru-baru ini saya jatuh cinta dengan karya-karyanya, tidak menginginkan uang dalam bermusik. Ia membiarkan semua karyanya diakses dengan bebas, tanpa harga, di website miliknya, dan menolak industri besar yang ingin merekamnya menjadi bintang pianis komersil. Ketika ditanya di Kick Andy, ia hanya menjawab santai, “Musik sekedar hobi, bukan tempat untuk mencari uang. Jadi siapa saja boleh mengakses karya saya.” Bayangkan sebuah idealisme perempuan berusia 21 tahun ini, padahal ia telah melanglang buana ke luar negeri dengan pianonya. Uang bukan segalanya. 

Dee, penulis Rectoverso dan berbagai novel bestseller lainnya, ia melakukan kontemplasi yang lama. Sebuah rumah tangga dengan Marcel Siahaan, seorang putra, dan kehidupan yang terasa baik-baik saja. Ternyata bukan baik-baik saja. Ia memutuskan berpisah. Dengan alasan, cinta ini sudah kadaluarsa. Semuanya telah selesai pada waktunya. Letak masalahnya, bukan ia seorang artis yang suka kawin cerai, tapi ia memilih kehidupan yang lain. Kehidupan yang ia alami sungguh menahun pun dengan pelukan takkan menjadi solusi. Perpisahan adalah solusinya. Ia menjelajah kepada kehidupan lain, mencarinya dan menemukan kebahagiaan lain. 

Nama perempuan manakah yang harus saya sebut? Oh iya, ada sebuah nama lagi yang sungguh dikagumi. Penulis dari Kuda Terbang Maria Pinto, Dari Djawa ke Atjech, hingga karya terbarunya, Jangan Tulis Kami Teroris. Linda Christanty. Seorang yang berasal dari Bangka, merantau sekolah ke Bandung dan Jakarta. Mencari apa yang diinginkan oleh ayahnya. Sebuah pembelajaran kehidupan. Dan merantau lagi ke Aceh. Demi sebuah Aceh Feature. Dari Aceh ia melanjutkan penjelajahan ke Asia Tenggara dan sekitarnya. Hingga kini ia tetap menulis dan aktif dengan tulisan jurnalisme sastrawinya. 
Menyebut banyak nama di atas, rasanya bikin bulu kuduk meriding. Mereka rela meninggalkan kenyamanan hidup dan mencari “jati diri.” Apa yang diinginkan dalam hidup. Apa yang sesungguhnya mereka cintai dan belajar kembali mencintai sesuatu yang mungkin masih berada di awang. Merekalah sang penjelajah kehidupan.  

Belakangan ini, pikiran sekelebat selalu bertanya-tanya, apa yang saya inginkan dalam kehidupan. Apakah saya seperti tokoh utama dalam The Devils Wear Prada. Seseorang yang terjebak dalam dunia fesyen padahal ia menginginkan menjadi reporter berita. Mengapa orang lain menjadi sebegitu mudahnya, sedangkan bagi saya terasa sulit. Terasa bahwa butuh segala usaha yang banyak. 

Saya rasa alam semesta sedang menyiapkan sesuatu. Entahlah. Saya tak paham. Bingung. Rasanya sungguh lelah, memakai beribu topeng dan tersenyum kepada mereka. Orang-orang yang jelas-jelas bukan kawan dan terkadang lawan, suka menjatuhkan. Alih-alih mengatasnamakan keluarga, atau demi kelangsungan perusahaan. 

Terkadang saya ingin menulis bebas, dengan rasa, dengan jiwa di sana. Tulisan saya menurun, semakin tak bagus, tak ada jiwanya di sana. Ia menghilang ketika tiap perjalanan pulang. Bahkan ketika berangkat. Ini adalah rutinitas palsu. 

Saya sedang belajar menyukai sesuatu tapi saya tak jatuh cinta terhadapnya. Seberusaha yang dilakukan tetap saja. Tak ada jiwa di sana. Tak ada rasa jatuh cinta. Sepertinya harus menjelajah kepada kehidupan yang lain. Semoga saya tahu caranya, suatu hari nanti. 

Pasar Minggu, 23 Oktober 2011, pukul 20.30 Wib

4 komentar:

  1. Elisabeth Gilbert, Frau, Dee...dan lainnya adalah orang-orang yang beruntung dapat menjadi penjelajah kehidupan lain yang lebih dekat dengan jiwa mereka...sedangkan kita,kamu dan saya dan mungkin berjuta-juta perempuan di luar sana adalah orang-orang yang belum beruntung karena begitu banyaknya tembok penghalang...

    saya jadi teringat bagaimana perempuan-perempuan miskin di Somalia yang hidupnya memprihatinkan..juga perempuan-perempuan India yang bila maharnya tidak sesuai dengan keinginan suaminya, setiap saat dapat disiksa bahkan dibunuh seperti yang saya baca di sebuah majalah..

    saya yakin perempuan-perempuan tersebut juga menginginkan menjadi penjelajah kehidupan lain...seperti kamu dan saya...ya semoga suatu saat nanti kita tahu caranya..

    have a nice weekend Edelweiss...

    BalasHapus
  2. Ahhh keberuntungan personalpun diukur dari seberapa banyak orang lain yang mengutip apa yang kita miliki.

    Gilbert, Frau dan Dee.

    Contoh personal yang hebat, mengukur keajaiban personal dengan ukuran langkah orang lain. Yaa, tidak salah.

    Tapi, ketika kita menyadari bahwa kita sedang terjebak pada situasi yang nyaman, kita pula tahu bahwa kita punya pilihan.

    Bertahan atau mabuk pada sesuatu yang baru, yang tak kita ketahui.

    Saya,
    Kadang membutuhkan jiwa saya yang hadir. Pada saat terjebak sekalipun, pada saat yang ahh...tak seharusnya saya inginkan.

    BalasHapus
  3. arumanis:
    terkadang saya pun beruntung msh bisa menerima pendidikan yg lumayan layak di Jakarta, saya pun beruntung punya keluarga demokratis yg bebas terhadap yg diinginkan putrinya.. saya pun beruntung msh bisa terus2an nulis di blog ini dan beribu keberuntungan lainnya, meski msh terdapat tembok penghalang.. (jiahhh, hahaaaa)
    selamat mengawali November arumanis..

    BalasHapus
  4. sepertinya saya juga akan mengutip personal Maliya, ;-)

    BalasHapus