Rabu, 14 September 2011

Menunggu Layang-Layang

Menunggu Layang-Layang. Sebuah anologi milik dee dalam Madre. Jika anologi tersebut bisa disamakan sepertimu, maka kamu itu ibarat layang-layang. Jika ditarik kencang, akan tercekik namun jika diulur kian panjang seperti terbebas. 

Tiap waktu, layang-layang itu digenggam. Memilikimu seperti sebuah harta dan impian. Memimpikanmu menjelang tidur hingga terbawa ke dalam alam mimpi. Apakah impian itu kamu? Apakah layang-layang tersebut akan terbang?

Tak tahu dengan pasti bagaimana cara menerbangkannya. Mungkin harus ada kursus khusus untuk menerbangkannya. Memelajarinya seksama dan menghapal tiap langkahnya. 

"Seorang perempuan harus bisa membebaskan lelakinya." Kutipan itu yang saya dapatkan belakangan ini. Teoritisnya sudah oke, tapi untuk aplikasinya saya harus jungkir balik jumpalitan mewujudkannya. Sangat susah sekali. 

Bagaimana bisa membebaskanmu dengan sebebasnya? Padahal ingin sekali hati mendengar suaramu tiap jam, bertemu denganmu setiap hari dan curhat kepadamu tiap malam. Semua rasa yang ingin dilepas kembali menjadi semu. Tak berwujud. Seperti impian kita dalam pembebasan tanpa sangkar. 

Lingkaran itu tetap ada. Ikatan itu masih tergenggam erat. Layang-layang itu masih ada di tangan saya. Belum kembali diterbangkan. Menunggu waktu yang tepat menerbangkanmu. Seikat tali sudah dipersiapkan. Ancang-ancang jurus terbang pun sudah ada. Sekarangkah waktunya? Atau esok dan esoknya lagi? Kapankah??

Saya terhempas, duduk di atas gundukan pasir ini. Lelah. Menghela nafas dalam-dalam. Ingin dilepas namun tak kuasa. Sembabnya mata pun sudah tak berguna. 

Layang-layang itu masih berada di samping saya #14 September 2011, magrib, pukul 17.56 WIB#

2 komentar:

  1. layang-layang ya? analogi yang menarik!

    BalasHapus
  2. iya ila.. layang2 selalu menjadi analogi yg menarik dlm hidup ini, layaknya cinta. Cinta itu pun seperti layang2 yg slalu dpt ditarik ulur. Analogi layang2 ini terinspirasi dari kumcernya Dee yg jdulnya Madre..

    BalasHapus