Ruang kesakitan. Ada banyak kesakitan di sana. Membuncah, mengendap dalam hati. Kesakitan sekaligus kebahagiaan mengalir. Tak tahu mana yang lebih dahulu. Hati ini binasa, oleh asa tak kunjung tiba. Kamu, iya selalu hanya kamu dalam kata ini.
Kata yang belum menjadi apa pun, kamu pun masih bersemayam indah dalam kalimat-kalimat ini. Lelah. Satu kata yang selalu muncul kala berkelai. Ingin berpisah seperti angin. Pergi melanglang sejauh langkah. Seperti sayap yang ingin selalu merengkuh pundak kurusmu dan mencium bibir lusuhmu dan berkata, “Indah sekali perjalanan ini dan saya lelah.”
Kelelahan tiada akhir. Sakit. Kesakitan tiada henti. Habis, binasa. Hancur. Lebur. Sunyi. Tak ada saya atau kamu di sini. Saya linglung. Bodoh. Kata terakhir tak ada, hanya air mata.
Dua tahun yang lalu, ketika saya perta ma membaca “Catatan Tentang Perpisahan” karya Dewi Lestari di blog. Saya selalu tidak habis pikir akan detil tiap kata-katanya.
Perpisahan. Alasan mengapa ia berpisah dengan Marcel, suatu argumentasi akan ketakbahagiaan, akan musnahnya cinta. Tidak ada alasan untuk bersama lagi. Cintanya berhenti berdetak, menguap dan berlalu.
Peluk. Peluk itu menjadi racun. Sayang menjadi benteng penghalang impian. Mereka pun tiada, pindah ke lain hati. Ketakbahagiaan, adalah alasan klise untuk berpisah.
Senja ini, di tengah alunan musik Dewi Lestari, saya mengirimkan sebuah sms, “Apakah kita akan berpisah? Apakah perjalanan ini terhenti? Apakah kita benar-benar lelah?”
Saya sungguh ingin memelukmu. Apakah kamu tetap ingin memeluk saya, entah dalam kesakitan atau kebahagiaan???????
Tidak ada komentar:
Posting Komentar