Senin, 18 Juli 2011

Kangen


Malam minggu, 2 Juli 2o11. Weekend menjadi rutinitas yang paling membahagiakan bagi saya. Hari kebebasan. Karena saya bisa memilih di antara dua kegiatan, liputan atau bermalas-malasan di rumah. Saya selalu memilih satu hari di antara Sabtu atau Minggu, untuk bekerja dan satu hari lagi lazy time.  

Biasanya tiap malam minggu (entah kapan malam minggu jadi spesial bagi kami) kami selalu bertemu. Sekedar melakukan ritual pacaran yang nggak ada habisnya; mengobrol. Bagi saya pribadi, mengobrol apa yang kami lakukan selama satu minggu atau dua minggu sebelum kami bertemu adalah kewajiban. 

Dan akan seperti biasanya, kami harus ngopi dan ngerokok bareng. Saya suka gerutu jika asap rokoknya mengenai jilbab saya. Ia dengan asyiknya malah tersenyum dan say sorry. 

Pacaran ala kami adalah dengan modal seminim-minimnya. Kami nggak pernah ngobrol di tempat café mewah atau di mall yang banyak kerumunan orang. Ia akan marah jika saya mengajaknya ke mall. Jadi, tempat pinggiran selalu menjadi tujuan utama. 

Malam minggu itu ia datang ke rumah. Bodohnya, saya marah kesetanan. Gimana nggak, ia datang jam setengah sepuluh malam. Apa kata orang rumah coba? Dengan meminjam motor adiknya dan membawa seorang teman, ia datang. Saya nggak suka. Prinsip keras saya, nggak boleh mempersilahkan teman laki-laki datang di atas jam 9 malam. Alhasil dia saya suruh pulang. 

Anehnya, setengah jam kemudian, saya menangis mengaung-ngaung dalam kamar. Marah, telah membuatnya kecewa, dan kesal pada diri saya sendiri serta dirinya. 

Sebuah pesan singkat masuk, “Kangen kamu.”

Lalu, “Maaf, datang malam-malam. Aku pulang.”

Sekeras apa pun lelaki tersebut, sebesar apa pun ego yang ada dalam dirinya, ia bisa luluh terhadap perempuan yang disayanginya dan rela meluangkan waktu untuk malam-malam ke rumah. 

Kangen. Kata itulah yang membuat saya memaki diri saya sendiri. 

Saya juga kangen kamu. Kangen banget dan nggak ada satu kata yang bisa menjelaskan mengapa saya tetap bertahan sama kamu sampai sejauh ini. Nggak ada satu kata pun, de. 

Realitanya, yang terjadi adalah saya emosi. Saya menutup rasa kangen tersebut dengan kesal nggak juntrungan sama kamu. Saya tetap memakimu karna datang malam-malam dan melakukan kesalahan yang sama. Saya takut, de. 

Mengapa saya nggak bisa mengatakan langsung kepadamu, baik itu dalam sms atau pun telepon. Saya nggak bisa. Kata-kata itu seperti menutup tenggorokkan saya dan berkata sebaliknya terus menerus. 

Saya ingin kamu tahu melalui tulisan ini, kita berkomunikasi, mengetahui isi hati masing-masing. Apa yang ingin diucapkan dan tak sempat terucap itu bermetamorposis menjadi kata-kata ini. 

Kangen itu tolonglah jangan menghilang sedetik pun dari hati kamu, dari kata-kata kamu, dari lisanmu. Itu berarti, bermakna bagi perjalanan ini, de. Memberikan kepercayaan dan keyakinan tiada henti kepada saya. Membuat saya ingin terus mengenggammu tangan kurusmu. Mengelus rambutmu dan selalu dan akan selalu berkata, “Saya juga kangen kamu.”

Malam di Pasar Minggu, 3 Juli 2011, pukul 19.02 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar