Dahulu perempuan menyukai gerimis, bahkan mencintainya. Saking ia mencintai gerimis, setiap hari ia selalu berdoa akan kehadiran gerimis di dunia ini. Pagi tiba, ia kan berharap. Siang datang, ia akan sangat berharap bahkan mengancam alam semesta. Senja tiba, kala gerimis tak kunjung ada, ia mengutuk langit dan memarahi dirinya sendiri. Lalu menangis.
Tangisan takkan reda hingga malam. Ketika ia sudah berselimutkan gelap, perempuan akan meringkuk kedinginan. Mengigil nggak karuan. Ia mengigau, selalu menyebut namanya. Nama sang tuan, pemilik gerimis yang ia cintai. Tapi it dahulu, dahulu sekali. Kapan? Perempuan telah lupa amat sangat dan tak ingin mengingatnya.
Ia hanya mengetahui satu hal, gerimis itu indah, meski tak seindah antara ia dan sang tuan pemilik gerimis.
Jika gerimis datang disertai kelebatan angin, itu tandanya bukan lagi mengenai gerimis. Tapi, tentang hujan. Perempuan kembali merenung, memandang hujan dari bilik jendela kamarnya. Menghitung banyaknya imajinasi momen antara ia dan sang pemilik hujan. Hujan itu indah, gumamnya Meski banyak orang yang memaki hujan, menurutnya hujan tetap saja indah tiada tara.
Baginya, hujan itu adalah refleksi. Sedikit perenungan untuk berhenti sejenak dari beragam aktivitas. Menghitungnya sepersekian menit waktu yang telah dilewatinya sebelum hujan. Jika bosan, ia akan melepaskan sepatu Dallas coklatnya, mengangkat celana panjangnya hingga selutut dan mulai bermain dengan hujan. Kadang kala, payung ia lepaskan pula.
Andai, ia bisa bertelanjang dan bermandikan hujan tiap kali tiba. Andai, rambutnya bisa terhempas tertiup angin lalu basah karena hujan. Basah karena hujan bukan karena sang tuan pemilik hujan.
Kemudian, ia akan begumam, nyanyian yang dahulu selalu ia nyanyikan bersama kelamnya masa.
Senja itu, perempuan menghitung momen antara gerimis dan hujan. Antara kebahagiaan dan kesakitan. Tak satu pun ditemukannya. Tak ada siapa pun di sana dan perempuan menyadari akan sesuatu, ia tidak memiliki apa pun. Tak ada siapa-siapa di sana. Perempuan itu sendiri.
Senja di Pasar Minggu, 3 Juli 2011
gerimis itu selalu indah
BalasHapussuka mbak,, sama ceritanya ^^
puchsukahujan;
BalasHapusselalu dan akan selalu indah, makanya banyak penulis, penyair, bahkan sastrawan di dunia yg menulis ttg hujan dan gerimis, salam kenal,