Senin, 27 Juni 2011

Hidup Setelah Sarjana II

Hidup. Berulang kali saya berfikir tentang hidup saya. Apa yang saya inginkan dalam hidup ini? Apa impian saya? Apa yang saya mau?

Hidup yang hanya ada saya. Pikiran kedua, saya berfikir; mengapa saya menginginkan hal tersebut? Ketiga; apa tujuannya? Keempat; dengan cara bagaimana saya harus mencapainya?

Proses dan pencapaian. Itu adalah proses dari hidup. Hidup saya. Terkadang memang kita membutuhkan keegoisan untuk bisa hidup. Jika saya tak lupa, dalam hidup manusia ada tiga ego; ego, super ego, dan id ego.

Setiap manusia ada yang memiliki satu, dua, atau bahkan semua ego tersebut, itu adalah hal wajar. Saya berfikir demikian. Toh, dalam diri manusia haruslah mempunyai ego.

Saya pun mempunyai ego, ego yang melebihi keinginan orang tua saya. Setelah titel sarjana dipegang bukannya bangga 100% tapi malah puter otak karna tanggung jawab yang semakin bertambah dan bertambah banget. Saya terheran-teran, beginikah hidup?

Bodohnya saya ketika orang tua dengan semangatnya menyodorkan setiap brosur universitas terkemuka untuk melanjutkan studi strata 2. Harap mereka, setelah lulus S2 menjadi dosen, mengajar dan daftar menjadi PNS. Hidup kok lurus-lurus amat. Jadi dosen pun akan teoritis banget. Itu rencana mereka lho, bukan saya. Katanya, hidup lebih mudah seperti itu, emangnya mau kerja yang berat-berat dan gaji kecil?

Saya sih nggak mau, tapi kenapa harus jadi PNS. Setiap warga negara Indonesia, mengapa pola pikir pekerjaan dan masa depannya harus menjadi PNS? Mentang-mentang pensiunannya ada. Tapi, apa gitu enaknya bekerja di balik meja dan menunggu kerjaan datang.

Saya menentang mereka. Dengan tegas, saya berkata nggak mau! Mereka kelimpungan. Ini ada perempuan satu-satunya di keluarga kok keras banget. Apa sih maunya?
Saya berkata, ingin menjadi wartawan atau bekerja di media. Mama diam, bapak geleng-geleng kepala. Saya tersenyum.

Secara profesional, saya telah mengincip di dua tempat. Media online dan riset. Kedua-duanya bikin hati begah alias kenyang angin. Saya pun keluar. Ada yang bertentangan dengan idealisme tapi ada juga yang bikin nggak nyaman.

Di kantor ketiga ini, saya nggak tahu feelingnya apa sehingga saya bertahan di sini. Di media online juga sih, kalau dibilang enak, itu kan relatif. Saya survive di sini sebagai reporter perempuan satu-satunya. Kerjaan sama kayak laki-laki. Jam pulang kantor dan liputan sama kayak mereka. Setiap hari berangkat jam enam pagi, ke kantor atau liputan. Trus, pulang ke rumah paling telat jam 11 malam. Asik banget, meski naik turun angkot berkali-kali karna belum ada motor. Atau juga sering nyasar karna disorientasi Jakarta. Dan juga, suka ketiduran di jalan, ngantuk yang nggak karuan. Tapi siapa takut? Ini baru hidup setelah sarjana.


Gunung Sahari, 28 Juni 2011 pukul 08.47 WIB, saat kantor masih sepi

1 komentar:

  1. ceritakan dong hidup sebelum sarjana. ikannya entar digoreng buat lauk, lumanyan

    BalasHapus