Air mata ini ingin turun. Padahal ia bukanlah seorang ‘kekasih’, ‘sahabat dekat’ maupun keluarga tapi ia adalah ‘seseorang’.
Berarti, berharga, dan mungkin sama nilainya layaknya kelurga. Dengan alasan seperti itulah, saya bisa menjelaskan secara logis mengapa detik ini saya ingin menangisinya. Anehnya, mata ini selalu panas. Saya ingin menangis karena ‘seseorang’ itu.
Kali pertama, dua bulan yang lalu saya mengenalnya. Sekilas sosoknya tampak angkuh dan terasa higher than somebody else. Selalu fokus di depan monitor komputer, serius mengerjakan seni dalam mendesain majalah, selalu datang lebih awal ke kantor dan pulang tepat waktu. Jika kantor masuk jam delapan pagi, jam tujuh bahkan setengah delapan pagi ia sudah stand by di posisi dengan secangkir kopi susu di atas mejanya. Kala shalat lima waktu, ia pun akan me ngerjakannya dengan ontime pula. Seseorang itu telah mengajarkan sesuatu.
Jika saya bersedih pada hari ini bahkan diam-diam menangisinya, itu karena ia berarti. Secara tak langsung, ia telah masuk ke dalam hidup dan hati saya. Ia bersemayam dengan indah di sana. Ia menanamkan sesuatu dalam hidup saya. Saya ingat betul apa itu. Saya takkan melupakan segala sesuatu dari kata-katanya.
Impian.
Ingat itu nes! Mumpung masih muda, kejarlah impianmu. Bermimpilah!
Ketika saya curhat colongan di fesbuk, “Mulai dilematis dan sedikit menyesal. Oh God!” Ia membalasnya;
“ther is nothing to regret, the opportunities won't come twice easily, go for it, u're still young, get more and more experience to build your mentality, do not give up.. hope we can produce more useful indonesian generation with discipline and innovative. DO NOT BE YES MAN!!!!”
Ketika senja waktu pulang kerja, saya bersyukur kepada Tuhan saya diberikan kesempatan untuk pulang bareng dengannya ke Stasiun Kota. Di bajaj, kala itu, ia mengajak saya bermimpi. Mimpi yang indah tapi jangan terlalu terbuai hingga terlelap. Amerika! Satu negara yang kini ada dalam otak saya. Kuliah lagi dan itu di Amerika.
Saya bertanya, “Apa itu mungkin mas? Apakah mimpi itu tidak terlalu berlebihan bagi seorang seperti saya?”
Ia menepisnya. Mengapa tidak? Itu adalah impian dan impian itu membuat kita hidup.
Hidup dan impian. Dua hal itu yang sempat hilang ketika saya melepaskan beasiswa kuliah ke Jepang selepas dari SMA lima tahun yang lalu. Saya sudah melupakan mimpi itu. Tapi, ia membangunkannya. Saya seperti naga tidur, kini mulai bangun. Saya tak tahu nikmatnya bermimpi lagi. Tapi karenanya, saya menemukan arti mimpi dan memulai dengan kalimat “Apa mimpi saya”. Sayangnya, saya belum sempat menanyakan kepadanya, “Bagaimana saya harus mewujudkannya?”
Ps: Dedicated for him, him become “someone”…
Penghujung Juli, 29 Juli 2011 pukul 14.10 WIB diiringi Blank&Jones “Someone Like You”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar