Senin, 02 Mei 2011

Ia adalah Sisifus Itu...

Sisifus dikutuk untuk selalu mengulangi kesalahan yang sama. Ia mendorong batu besar tersebut menuju puncak lalu diturunkannya ke bawah gunung, begitu pun seterusnya sampai akhir hayat. Mengapa sisifus tidak memikirkan logika rasional terhadap perbuatannya atau memang ia sudah dikutuk oleh Dewa?

Lelaki yang menyukai karya “Myth of Sisifus” oleh Albert Camus itu sangat mendalami karakter tokoh utama dalam buku tersebut. Ia memainkan peran, mempelajari, mendalami, mencoba menguasai lakon melalui teks, dan menjalani kehidupan seperti itu. Seharusnya ia memilih untuk tidak memerankannya namun hidup memilih dirinya. Tuhan seakan turut andil terhadap apa yang disukainya, terhadap apa yang dibacanya. Toh, lelaki itu tidak menolaknya. Ia menjadi sisifus sejati.

Bagaimana dengan kutukan Sisifus? Apakah ia menjalani kutukan yang sama? Ia, iya lelaki tersebut memang melakonkan diri menjadi sisifus tapi ia lupa untuk belajar dari pengalaman Sisifus. Seharusnya, ia lebih pandai dibandingkan dengan Sisifus. Bagaimana pun pepatah “Pengalaman adalah Guru Yang Terbaik” masih berlaku di alam universal ini.

Saya sedang menunggu ia mendalami tokoh lainnya. Menunggu ia untuk memainkan peran, mempelajari, mendalami, mencoba menguasai lakon melalui teks, dan menjalani kehidupan lain. Saya sedang menunggu ia tersadarkan dengan kepenuhan otak yang penuh. Tidak sedang terlarut dan berkawan dengan bir. Tapi, ia sedang menjalankan kehidupannya sendiri. Ia yang benar memilih lakon itu. Bukan tentang Sisifus, Chairil Anwar, Iwan Simatupang, M.Iqbal maupun Nietszche. Ia ya Ia. Ia yang berubah menjadi cowok lalu laki-laki dan menjadi seseorang.

2 komentar:

  1. Saya suka wacana ini. Memang benar, Sisifus merupakan potret sesosok makhluk yang selalu melakukan kesalahan yang sama. Ia mendorong batu menuju puncak dan melihatnya jatuh, lalu mendorongnya lagi ke atas dan melihatnya jatuh kembali. Begitu seterusnya. Kita sebagai manusia nyata mrmang berbeda dibandingkan dengan Sisifus. Kita memunyai kesadaran (consciousness) untuk terlepas dari kehidupan absurd seperti halnya yang dialami oleh Sisifus.
    Apa yang dilakukan oleh Sisifus tidak sepenuhnya adalah cerminan buruk bagi kita. Ada sisi positif yang dapat kita ambil dari Sisifus. Ia melakukan hal itu secara terus menerus, meski dia tidak mengetahui kapan akhir dari hukumannya itu. Ia menjadi representasi dari kekontinuitasan usaha seseorang. Memang, kkontinuitas seperti itu tidak selamanya baik, akan tetapi setidaknya kita butuh kontinuitas seperti itu guna merealisasikan apa yang kita tuju/inginkan.

    BalasHapus
  2. Saya suka wacana ini. Memang benar, Sisifus merupakan potret sesosok makhluk yang selalu melakukan kesalahan yang sama. Ia mendorong batu menuju puncak dan melihatnya jatuh, lalu mendorongnya lagi ke atas dan melihatnya jatuh kembali. Begitu seterusnya. Kita sebagai manusia nyata mrmang berbeda dibandingkan dengan Sisifus. Kita memunyai kesadaran (consciousness) untuk terlepas dari kehidupan absurd seperti halnya yang dialami oleh Sisifus.
    Apa yang dilakukan oleh Sisifus tidak sepenuhnya adalah cerminan buruk bagi kita. Ada sisi positif yang dapat kita ambil dari Sisifus. Ia melakukan hal itu secara terus menerus, meski dia tidak mengetahui kapan akhir dari hukumannya itu. Ia menjadi representasi dari kekontinuitasan usaha seseorang. Memang, kkontinuitas seperti itu tidak selamanya baik, akan tetapi setidaknya kita butuh kontinuitas seperti itu guna merealisasikan apa yang kita tuju/inginkan.

    BalasHapus