Rabu, 27 April 2011

‘Menjadi Manusia’ Bukan ‘Menjadi Perempuan’

Jika dalam Islam terdapat beberapa hal yang tidak diketahui takdirnya (jodoh dan maut) maka manusia mempunyai pilihan masing-masing terhadap hidup yang diingininya. Memang Yang Maha Kuasa memberikan manusia itu jenis kelamin apa, sehingga hanya diberikan dua label; laki-laki atau perempuan.

Dua pilihan tersebut menentukan kehidupan manusia berikutnya. Seperti opisisi biner; laki-laki atau perempuan, benar atau salah, siang atau malam, kuat atau lemah, dan sebagainya. Maka siang identik dengan laki-laki, malam dengan perempuan. Kuat itu laki-laki dan lemah itu perempuan. Pemikiran konservatif tersebut tidaklah disalahkan dalam sistem sosial masyarakat kita. Apalagi dengan kultur ke-Timur-an yang selalu diagung-agungkan oleh masyarakat Indonesia. Kultur timur yang mengharuskan setiap perempuan menutup auratnya, menutup tubuh sensualnya, bersikap baik, nrimo atas ucapan suami atau keluarga, tidak boleh pulang malam, dan sebagainya.

Saya kira sikap seperti itulah yang terlalu menutup pikiran menjadi sempit. Semenjak si cabang bayi diberi label laki-laki atau perempuan, semenjak itulah kedua orang tuanya mempunyai wewenang untuk menjadikannya “menjadi” sesuai dengan jender tersebut.

Saya diberi label sejak lahir adalah perempuan, maka saya diberikan mainan boneka-bonekaan, disuruh memakai rok, dan menyukai warna pink. Menginjak masa dewasa dengan dimulainya masa menstruasi, saya diajarkan untuk bersikap, bertutur layaknya perempuan. Beralih kepada masa di mana pertengahan studi strata satu, mereka memperkenalkan saya dengan gincu, maskara, foundation dan sejenisnya. Maka saya “menjadi perempuan”, mereka melupakan esensi dasar saya yaitu manusia. Bahwa saya pun memiliki sifat dasar manusia.

Kadang kala, saya suka memikirkan bagaimana jika dalam perjalanan hidup saya, saya menyukai segala macam urusan yang identik dengan ‘menjadi laki-laki’. Atau mungkin saya menjadi penyuka sesama jenis, mencintainya bahkan mencoba mengganti vagina dengan penis dan mengempeskan payudara saya. Saya menjadi sensual dan erotis menurut pilihan perjalanan saya.

Namun, saya rasa jika saya harus mendeskripsikan biografi kecil untuk facebook maupun blogspot, saya akan berkata seperti ini, “Saya adalah manusia penyuka hujan, kopi hitam, dan mawar putih.” Ah, sepertinya saya pun tidak akan menularkan label jenis kelamin kepada blog saya, Dunia Perempuan akan segera diganti kemudian hari.
Jika mengutip pertanyaan mendasar Aristoteles dalam filsafat etikanya, “kehidupan baik yang bagaimanakah yang harus saya jalani?” Saya rasa tidak ada kebaikan hidup yang benar-benar baik. Relatif. Lalu seperti apa yang Anda pilih?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar