Jumat, 04 Maret 2011

22 Februari…

“Welcome to real reality darling…” itulah perkataan sahabat saya, Mimi Fahmiyah ketika saya curhat dengannya melalui sms. Kala itu, magrib telah lewat dan sedang mengantri shalat, saya dan lelaki itu sedang bercengkrama depan teras rumah abangnya. Bapak menghampiri dan duduk berseberangan dengan kami. Tak ada perasaan deg-degan, justru lebih parah. Saya takut dengannya, menatap wajahnya saja saya takut. Apa ini wajah calon mertua? Oh my God, I can’t believe it!

“Apa orang tua kamu sudah mengenal dede? Sudah berapa pacaran? Kapan ada rencana menikah?” Tiga pertanyaan yang langsung menghantam. Jika saya terdakwa, maka bapak adalah hakimnya dan ruangan ini pengadilan.

Saya melongo, bingung. Saya mencolek yang di samping saya, namun ia diam. Serasa tersentak pelan, bapak menanyakan itu khusus kepada saya, bukan putra keduanya.
Jawaban saya adalah sebuah cengiran dan gelengan kepala, setelahnya saya ngeloyor pergi, ijin untuk pergi shalat magrib.

Saat masuk ke dalam, saya dihentikan oleh kakak ipar lelaki itu. “Kenapa mau cepet-cepet pulang? Kan baru datang? Rumah juga dekat?” tanya mbak Eva. Namanya Eva Budhi Kurniawati, suaminya atau kakak kandung lelaki saya bernama Budi Haryanto. Menarik. Mereka berjodoh dengan nama ‘Budi’.

Mbak Eva mantan wartawan Jawa Pos, a Budi bekerja di BPH Migas. Mereka bertemu dalam satu organisasi pecinta alam di UNS. Kisah cinta mereka indah. Tanpa bisa dibayangkan, itu terjadi dalam dunia nyata. Mereka baru mempunyai momongan yang masih berusia 35 hari. Mahija Arsyastya Wirkama. Putra Bumi Keyakinan dan Keteguhan Hati. Nama Sansekerta, nama nusantara, kata mbak Eva. “Karna saya, orang nusantara,” senyumnya sambil menyusui Mahija.

Ketika mbak Eva menanyakan hal tersebut, saya langsung memasang wajah memelas, dan rasanya ingin menangis di depannya. “Terlalu banyak obrolan orang dewasa, mbak. Saya kan masih belum kepikiran ke sana. Masih pingin main.”

Hanya satu kalimat untuk menenangkan dan mengerti saya, “I see.”

Hanya ‘I see’ dan itu yang saya butuhkan saat itu namun tak ada yang mengatakannya kecuali ia. Saya butuh seseorang yang mengerti bahwa saya masih berusia 22 tahun, masih ingin mencapai impian nun jauh di sana, masih ingin bergaul dan berkarir. Terlalu dini untuk melangkah ke jenjang berikutnya. Saya pun belum bisa bertanggung jawab dengan diri sendiri, belum membahagiakan keluarga dan belum bisa mengambil keputusan itu. Saya pun merasa lelaki itu juga merasakan hal demikian.

Hari itu, Selasa 22 Februari 2011 merupakan hari bersejarah bagi keluarga saya dan keluarga lelaki itu. Bagi keluarga saya, hari ini adalah hari kelahiran adik pertama saya, Muhamad Falah Muttaqin. Seharusnya ia genap berusia 9 tahun pada hari ini. “Sudah SD kelas 3,” begitu kata mama. Tatapan mama melayang kosong, “udah ganteng banget kali yah sekarang,” senyumnya lalu ia mengusap air mata. Tanpa sadar ia merindukan putra keduanya. “Semoga kamu bahagia di sana, nak,” mama berkata lirih di samping saya, ketika malam 21 Februari kami berada di ruang TV. Saya tidak berani mengeluarkan satu kata apa pun.

Bagi keluarga lelaki itu, hari ini adalah hari ketika nama Mahija disahkan di bumi ini. Hanya keluarga kecil Eva Budi yang memiliki nama Mahija. Putra Bumi mereka. Putra Bumi keluarga mereka. Ketika sebelum dan setelah melahirkannya, mereka diberikan cobaan dari Yang Maha Kuasa. Ketegaran menyelimuti keluarga mereka.
Bagi keluarga saya atau keluarga lelaki itu merupakan hari bersejarah. Bagi saya pun, hari ini sungguh berarti.

Selasa, 22 Februari 2011, hari ketika saya memantapkan hati berniat menuju rumahnya, ketika langkah kaki saya terasa ringan, tak ada rintangan. Rasanya saya sanggup melangkah menuju rumah itu. Rempoa. Saya berangkat dari rumah jam 8 pagi dan sampai di sana jam setengah 10, padahal semalam saya mengetik skripsi dan baru tidur 2 jam lamanya. Saya tidak minta dijemput, saya berjalan dengan kaki sendiri, tanpa merepotkan kaki orang lain.

Keluarga itu membuat saya jatuh cinta nggak ketulungan sekaligus membuat saya takut dan bertanggung jawab dengan hubungan ini. Hari itu, saya siap melangkah ke rumahnya maupun berhadapan dengan keluarganya. Tapi, saya benar-benar tidak siap dengan pertanyaan itu. Pertanyaan yang seharusnya sudah bisa dipersiapkan sebelumnya. Saya merasa bodoh depan bapak.

Jika saat ini, saya ditanya, saya sudah berpikir sebelumnya, tidak grogi dan saya punya jawaban tegas. “Kami belum berpikiran ke arah sana. Kami belum merencanakan hal itu semua. Tahun ini, yang ada di hadapan kami adalah menyelesaikan kuliah dan wisuda, tahun kedua mencari profesi pasti. Begitu pun dengan tahun ketiga dan keempat. Mungkin yang kelima… Yang utama kami pikirkan adalah menjaga dan mempertahankan hubungan ini. Mendapatkan itu mudah, tapi menjaga itu susah, pak. Kami khususnya saya, tidak ingin terburu-buru. Kami ingin berjalan santai. Tapi, saya cuma minta, tolong restui kami. Kami butuh restu untuk memaknai hubungan ini…..”

Makna hubungan kan yang juga kamu cari, lelakiku, katamu ketika berjanji kepada persahabatan lima tahun ini, untuk dua tahun kebersamaan dan kepada perempuanmu ketika kita merajut kembali 57 hari 1368 jam 82.080 menit dan 49.924.800 detik yang lalu…
Pasar Minggu, 24 Februari 2011

2 komentar: