Selasa, 08 Februari 2011

Ruang

Ruang itu terbuka. Tirainya perlahan menyibakkan asa. Warnanya putih. Saya di sana, menunggu ia selesai dalam proses tersibakkan. Satu… dua… tiga… empat… lima detik, saya menghitungnya. Lama saya menunggu, ia belum juga ada. Gorden tersebut masih perlahan membuka namun ia tak ingin dibuka. Sampai di pertengahan proses, ia pun berhenti.

Saya di sana, masih menunggu proses itu. Iya, saya masih tertegun duduk dengan kaki bersila. Aneh, ada apa denganmu? Mengapa kamu tak ingin terlihat?
Di samping saya, ada secangkir kopi hitam. Pekat tapi masih hangat. Sudah sepuluh menit, saya menanti. Ia, gordin itu tak ingin terbuka, tapi saya tetap setia. Di sela jari jemari saya, terselip rokok mengembul. Baru satu batang, sayang. Senyumku lirih.

Saya masih melamun di depan ruang itu. Ruang yang masih setengah terbuka, dengan gordin putih yang menggantung, melunglai putus asanya.

Saya duduk bersila, bersama sebatang rokok dan kopi hitam. Dua puluh menit terlewati, saya mengambil komputer jinjing dalam tas saya.

Ia muncul dalam huruf pertama. S.

“Saya menunggumu” dua kata terangkai.

“Saya menunggumu di sini, sayangku.”

Lalu, kalimat lain muncul. “Mengapa kau belum tiba?”

Kata sembilan, sepuluh, dan sebelas muncul. “Aku ingin membunuhmu.”

Pasar Minggu, 3 Februari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar