Malam kedua:
“Tahukah kamu kapan pertama kali kita bertemu? Saat aku masih OSPEK. Ketika kamu lewat dengan rambut gondrong dan cueknya. Kali pertama, kedua, ketiga dan seterusnya yang berkesan. Sangat berkesan. Rajutan kenangan itu, tanda sadar mengikat. Selama empat tahun. Selama aku hidup di kampus ini, dalam ruangan itu juga. “
Malam dingin penuh kebencian hadir detik ini. Kamu selalu diam, diam yang membuat perempuan tak bisa masuk kepadamu. Jauh sekali. Kamu dengan duniamu. Diam yang memuakkan. Perempuan tak mengerti dengan diammu.
Mengapa ini seperti Peluk-nya Dee? Menahun itu tak cukup membuat perempuan dan lelaki untuk saling mengerti. Rasa sakit yang sama-sama dirasa. Sakit yang mendera kian lamanya. Tak ada obat atau aspirin di sana.
Ini bukanlah persoalan nilai, benar atau salah. Perempuan juga tak menyalahkan atas nama rasa apapun yang ada di dunia ini. Hanya saja, perempuan siap mundur atas segala nama rasa jika mereka saling menyayangi. Namun, lelaki menolak. Ia bilang rasa itu ada tapi kecil, tidak kepada perempuan.
“Rasa kepadamu sangat besar, melebihi apapun dan tak tergantikan.”
Perempuan menghela nafas, seakan tak percaya ia masih bisa mengatakan hal itu dalam situasi seperti ini. Yang ada hanya sakit dalam dada perempuan.
emmmm.... perlu membaca bbrapa kali untuk bisa ngrti...heehehe
BalasHapusbagus..
BalasHapus@adibey: mungkin harus baca postingan sebelumnya... heee... tp thx komennya..
BalasHapus@awmy: thx.. ^_^