Tahukah kamu di antara kepingan rindu ini ada namamu, terselip nafas kangen. Kamu yang di sana. Iya, kamu yang angkuh itu… sedang apakah kamu? Sedang bersama siapa? Apakah namaku terlintas dalam benakmu? Apakah kamu mengingatku?
Malam tak kunjung memanggilmu dalam mimpi. Kamu terasa terhempas jauh ke sana, pergi dari jarak yang dekat ini menjadi berkilo-kilo meter lamanya. Punggungmu tak terlihat sama sekali, egomu tak tampak dalam dekapku. Sunyi tanpamu.
Rasa benci kian menyeruak, memakimu tiada akhir. Persetan dengan akitivitasmu! Bangsat dengan hidupmu! Sialan kau mengeyahkanku! Siapa kau!!!
Setan itu haus dalam darahku, mengajakku untuk mengambil pisau dan membunuh jiwamu dalam hati ini. Cukup dengan pisau kecil namun tajam. Perlahan tapi pasti. Tak usah lewat belakang, di depanmu saja kulakukan itu semua. Matamu, kepalamu melihatnya seksama. Aku seperti kesetanan yang merajalela karna cinta. Cinta yang semu, terlalu menggiurkan sekaligus membinasakan diri.
Ah, ternyata kamu sedang bercengkrama dengan teman-temanmu. Di sana ada secangkir kopi, sebatang rokok Sam Soe, dan buku tebal. Kalian berempat memang bersahabat dari dahulu kala. Ketika kamu mulai mengenal sebuah kata bernama filsafat. Asyik sekalian yang kalian lakukan. Sejam, dua jam, tiga jam, bahkan malam-malam dingin pun sering dilakoni. Tentunya, tanpa aku.
Jika buku telah tiada, kamu akan asyik dengan menulis. Dengan sibuknya kamu akan mulai memainkan jemarimu dan mengetik kata. Kata demi kata itu tersusun, seringnya masih dalam keadaan abstrak. Tapi, entah mengapa ada sesuatu dalam kata-kata itu. Ada sebuah kekuatan. Ada semangat di sana. Tak luntur meski sering kali kamu dibunuh mood.
Tahukah kamu, terkadang otakmu benar-benar tidak produktif. Lalu, apa yang telah kamu lakukan selama ini? Sudah berapa karya yang kamu hasilkan? Apa mereka merespon itu semua?
Ah, lekakiku… kamu hanya akan berkata bahwa itu semua adalah proses tiada henti. Pertanyaan selanjutnya lelakiku, sampai kapan?
***
Sabtu, 27 November 2010, dalam kamar, satu jam menuju Subuh…
Kamu pergi terlalu mendesak, seakan tak ada waktu untuk menungguku datang dan mengucapkan perpisahan. Jam sembilan pagi, kamu bilang, “Aku akan pergi.”
Aku langsung menghubungi, “Kok dadakan? Kenapa? Tunggu aku dulu..”
Selalu harus duluan yang mengiba dan meminta belas kasihmu. Kamu tak menggubrisnya dan pergi jauh.
Siang harinya, terasa aneh. Mengapa selalu ada kamu? Di mana-mana sayang. Mengapa? Kini, yang ada pertanyaannya bukan apakah ini cinta? Seharusnya adalah, cinta ini kapan berhenti?
Apa detik selanjutnya, esok, lusa?
Kapan pun itu, apakah kamu akan menyakinkanku terus menerus? Aku rasa kamu masih terlalu sibuk dengan urusanmu, dan (mungkin) masa depanmu tanpa aku. Tapi entahlah.
kala ajal menjemput akhir dari sebuah proses. alur bahasa menyentuh terutama bagi yang membacanya dengan hati dan pada akhirnya muncul sebuah kata yang bernama merasa.
BalasHapusmungkin merasai rasa itu dan menikmatinya... aih.. aih... tunggu selanjutnya saja yah...
BalasHapus