Rabu, 19 Mei 2010

Di Ambang

Ketika rasa sakit duniawi kian menjadi dan pada akhirnya seakan menyerah terhadap keadaan. Meski sekali pun berupaya, berusaha sekuat tenaga untuk terus bertahan tapi entah dari mana semua rasa sakit itu datang dengan hebat. Sangat hebat.

Ini bukan penyakit. Hanya sebuah sakit biasa. Tapi sakitnya menyamai apa yang dinamakan dengan penyakit. Yang terlintas saat itu, hal ini tidak seberapa dibandingkan dengan teman-teman lainnya yang mempunyai penyakit asma atau mungkin kanker.

Namun, saat itu... ketika semuanya berada di ambang, ketika rasa sakit duniawi bercampur dengan rasa berserah diri terhadap-Nya. Saat itulah seperti detik-detik terakhir dengan rasa hidup ini.

“Jika ini sudah waktunya, maka lakukanlah dengan cepat tanpa merepotkan keluarga dan orang sekitar.”

Sebuah kalimat, entah itu doa tau sebuah pinta. Tapi sebuah pasrah diri yang tak sanggup apapun. Seketika dunia terasa tiada, tak terdengar suara apapun, yang ada hanya rasa sakit yang begitu menggema. Aku merintih tapi seakan suara rintihan itu menghilang. Di rumah kosong, tak ada suara seorang pun, tangisan merajalela, mecoba membangunkan setiap saudara di luar sana. Tapi, suara-suara itu seperti tidak ada, hilang di tenggorokan. Atau ini semua hanyalah anganku dari detik terakhir ini, angan pada ambang?

Banyak yang berkata, saat seperti ini akan banyak terlintas semua dosa dunia layaknya semua film namun saat itu yang ada hanya beberapa percakapan, janji-janji yang harus dilaksanakan dan segala impian yang belum terlaksana.

“Tut, gimana batas akhir bulan Mei. Kita ajuin proposal skripsi.”
“Oke. Akhir Mei...”

Saat itu, ada sebuah percakapan dengan sahabatku, dengan Mimi Fahmiyah, yang dengan jelasnya adalah sebuah janji untuk bareng mengajukan proposal skripsi dan terlihat raut wajah kami yang bersemangat.

Kedua, sebuah percakapan yang tanpa disadari telah terlewat adalah penerbitan Tabloid INSTITUT Edisi 8 dengan pengurus INSTITUT serta rencana terbitan tabloid edisi lainnya dengan kawan-kawan Angkatan 2009.

Jika, bulan ini belum mengajukan proposal maka kapan lagi akan membahagiakan orang tua??? Sebuah janji untuk memberikan dukungan terhadapnya.
Tanpa disadari ternyata aku masih memiliki banyak tanggung jawab di sini. Iya, di sini dan masih berguna bagi orang lain. Lalu kenapa dengan mudahnya menyerahkan kepada-Nya, jika belum saatnya dan masih bisa bertahan.

Saat itu, tak teringat dengan jelas. Yang ku tahu, mata ini terpejam, rasa sakit mulai menghilang dan sedikit terlelap dengan suara tangis yang kian mereda.

Fisik boleh sakit, tapi pikiran, otak dan jiwa ini tak sakit. Masih bisa berfungsi dengan normal lalu untuk apa mengeluh. Memang adanya kondisi tubuh ini seperti ini. Tubuh ini milikku, bukan mereka yang mengatur. Maka, tubuh ini milikku dan hanya aku yang boleh mengontrolnya.

Menulis, itulah kata pertama yang aku ingat setelah mengalami semua itu. Maka, aku menulis tanpa mengenal rasa sakit dan lelah karena dengan itulah aku hidup.

2 komentar: