Rabu, 06 Januari 2010

GARA-GARA DIWAWANCARAI, DAPAT SP 1

“Saya dendam banget sama orangnya,” perempuan berjilbab putih itu kembali merenung dengan tatapan kosong. Seketika, tangannya kembali mencatat nomor kendaraan motor yang masuk ke dalam kampus UIN Jakarta. Terdengar suara musik dari handphone yang selalu mengiringi pekerjaannya. Di depannya terdapat ratusan tiket masuk parkir yang belum terpakai. 

 Rina, salah satu petugas tiket masuk parkir yang bertugas di pintu masuk UIN Jakarta. Ia telah bekerja di sini selama awal dump parking masuk ke dalam kampus sekitar lima bulan yang lalu. Selama itu pula, perempuan berusia 23 tahun ini bekerja sebagai petugas tiket masuk parkir. Namun, ketika peristiwa itu terjadi, ia menjadi takut dengan istilah “wawancara”. 

 Ia menjelaskan perihal peristiwa tersebut. Awalnya, ketika Rina sedang asyik bekerja datanglah dua orang mahasiswa/i UIN Jakarta yang menghampirinya, meminta dirinya agar bersedia diwawancara. Kemudian, kedua mahasiswa tersebut menanyai masalah dump parking dan ia mengutarakan pendapatnya. “Saya mah jawab jujur apa adanya,” ujarnya lirih. 

 Namun, gara-gara ia diwawancara, Rina mendapatkan Surat Peringatan (SP) 1 dari Direktur Devclean Utama Mandiri, Dedi E. Lewenusa “Tiba-tiba saja saya dan teman cowok saya disuruh datang ke pos dump parking. Kami dimarahin dan langsung dikasih SP 1. Katanya, kalau sampai SP 3 maka kami dapat dikeluarkan.”

 Lanjutnya, setelah diwawancara, beritanya dimasukkan ke dalam koran. “Gara-gara kalian nama dump parking menjadi jelek! Beritanya masuk ke koran,” ucapnya sambil menirukan logat Dedi yang ketimuran. 

 Rina mengatakan tidak mengetahui nama koran yang memuat pendapatnya tentang dump parking tersebut. “Saya juga nggak tahu koran apa itu. Pak Dedi juga nggak menyebutkan nama korannya. Pokoknya dia bilang koran saja.” 

 Rasa haus menyerangnya, botol air mineral di depannya ia minum. “Saya juga heran dengan mahasiswa UIN kenapa mereka demo masalah tarif parkir atau demo masalah dump parking padahal kan kami kerja benar-benar melayani mahasiswa. Tapi tetap saja dibicarakan yang nggak benar. Seperti tarif parkir dilarikan kemana Rp 500 tersebut dan sebagainya.”

 Ia juga heran dengan pihak UIN Jakarta yang kurang menyosialisasikan masalah dump parking ini khususnya tarif parkir. Sehingga banyak yang protes dan seakan-akan marah kepada kami (dump parking, red). “Kami juga manusia.”

Setelah kejadian itu, Rina mengaku tidak berani sembarangan mengeluarkan pernyataan tanpa sepengetahuan atasannya atau sekadar diwawancara oleh siapa pun. “Saya jadi takut.”

Antrian panjang motor kembali membuatnya sibuk. Sambil memberikan karcis tiket parkir, Rina selalu tersenyum dan ramah kepada pengendara motor. Ia kembali membuka suara. “Saya juga tidak tahu siapa namanya, dari fakultas mana karena saat itu dia nggak menyebutkan namanya dan saya langsung percaya saja. Eh, ternyata malah jadi begini.”

Selain itu, perempuan yang berseragam merah abu-abu tersebut menyadari resiko yang dihadapinya. “Saya mau serius kerja di sini. Gaji memang nggak seberapa tapi kerjaannya enak. Tinggal duduk, catat nomor kendaraan, kerja pakai shift. Nggak memberatkan. Yah, ada yang nggak enak juga seperti tempat kerjanya yang panas. Tapi kan nyari pekerjaan itu susah.” Saat ditanyai mengenai nominal gajinya, ia tidak ingin menyebutkannya. “Cukuplah untuk biaya hidup,” ujarnya pendek. 

Rina mempunyai harapan, jika ia betah dan diperbolehkan kerja di sini seterusnya (dump parking, red) maka ia masih ingin bekerja di sini. “Gaji nggak ada masalah, yang terpenting tidak ada masalah apa pun dengan atasan dan teman-teman. Mudah-mudahan saja. Doakan.”

Perempuan itu kembali sibuk mencatat nomor kendaraan. Matanya pun penuh konsentrasi. Hingga sore hari sekitar pukul 16.00 WIB, ia akan terus berjuang di tengah terik matahari dan tempat kerja yang panas. Rina berusaha tegar dengan resiko apa pun yang terjadi. 

1 komentar:

  1. terus berkarnya. kembangin terus bakat. tulis,tulis dan nulis. selamat menulis

    BalasHapus