Kamis, 31 Desember 2009

PEMBANGUNAN RUANG PUREK RUGIKAN BERBAGAI PIHAK

Taman Kamboja belakang Auditorium Utama itu telah tiada. Lahan hijau yang dahulu menjadi penyegar di tengah kepenatan kuliah dan beraktivitas, kini diterpa oleh pembangunan infrastruktur dari pihak kampus. Tergantikan menjadi bangunan berbentuk oval dengan konsep tiga lantai. 

Bangunan tersebut direncanakan sebagai ruang Pembantu Rektor (Purek) dan kemahasiswaan. “Pada dasarnya pembangunan ini supaya lebih dekat dengan mahasiswa khususnya dengan kegiatan mahasiswa yang lebih banyak terdapat di Student Centre (SC) sebagai pusat kegiatan mahasiswa,” tutur Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, PR II Bidang Administrasi Umum ketika diwawancarai INSTITUT di ruangannya (10/12). 

Selain itu, lanjutnya, agar mahasiswa dapat berkomunikasi lebih dekat dengan Purek-nya. Jika menggunakan ruang Purek yang lama dan berukuran 4 x 7 maka minim sekali mahasiswa dapat berkomunikasi. Apalagi ruangan yang digunakan oleh PR III Bidang Kemahasiswaan itu sendiri. Maka, kita (UIN, red) menyiapkan tempat yang layak supaya Purek punya ruangan rapat dengan mahasiswanya. 

Pembangunan yang diperkirakan menghabiskan dana 1,5 milyar ini dinilai merugikan mahasiswa/i UIN Jakarta walau dampaknya tidak dirasakan secara langsung. F. Satrio Anggoro atau biasa disapa Tembolo, Ketua Umum Komunitas Mahasiswa Pencinta Lingkungan Hidup dan Kemanusiaan (KMPLHK) RANITA ini menyatakan tidak setuju dengan pembangunan ruang Purek tersebut. 

“UIN dengan semboyan world class university dengan menuju universitas risetnya, yang akhirnya segala pembangunan mengorbankan lahan hijau. Mereka menganggap bahwa lahan hijau itu dianggap kurang penting,” tuturnya kepada INSTITUT di ruang sekretariat RANITA (14/12). 

Padahal manfaat dari lahan hijau itu banyak sekali terutama untuk penyerapan air, jika berkurang maka akan berimbas kepada banjir. Nur Saiti, mahasiswi Jurusan Farmasi, Fakultas Ilmu Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) turut merasakan dampak dari pembangunan ruang PR. 

“Ruang laboratorium pernah kebanjiran juga, apalagi pas musim hujan,” ujarnya geram (10/12). Sebelum pembangunan tersebut dibangun, ia belum pernah merasakan kebanjiran apalagi di UIN Jakarta.

Sambil merenung, ia juga menuturkan kekecewaan kepada pihak kampus karena pohon kamboja ditebang dan dibangun ruang Purek. “Saya tahu pembangunan itu untuk rektorat tapi malah mempersempit lahan. Dulunya sering dipakai untuk diskusi seputar agama dan kuliah. Saya juga merasakan fakultas (FKIK, red) terasa terisolasi karena harus jauh bila ingin ke kantin Tarbiyah.”

Lanjutnya, padahal Taman Kamboja ini tempatnya adem dan enak. Tembolo serta para aktivis lingkungan RANITA merasa telat melakukan aksi karena pembangunan ruang PR ini tidak ada sosialisasinya. “Sekarang yang kami lakukan hanya advokasi tentang pentingnya lahan hijau di kampus.”

Mahasiswa jurusan Agribisnis Fakultas Sains dan Teknologi (FST) ini juga mengakui kerugian yang didapat dari pembangunan ruang Purek, nantinya dapat mempersempit ruang gerak mahasiswa khususnya teman-teman Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang ingin melakukan kegiatan bersifat outdoor. 

Hal serupa juga diamini dan dirasakan sekali akibatnya oleh UKM Teater Syahid. Tiap tahunnya Syahid sering mengadakan pentas teater di Taman Kamboja apalagi jika kedatangan tamu dari teater lainnya. “Kami merasa malu sekali saat pertunjukkan pentas Bib Bob dari Teater Bengkel Rendra karena setting lampu yang sederhana,” ujar Mirzan Insani, Ketua Teater Syahid periode 2006 kepada INSTITUT di sekretariatnya (10/12).

Padahal jika dipentaskan di Taman Kamboja maka akan lebih wah dan tidak sederhana dalam permasalahan setting lampu dan dekorasi panggung. Kami (Teater Syahid, red) jika hanya latihan saja bisa di parkiran SC tapi kalau pementasan maka perlu tempat.

Amsal menyatakan untuk tempat kesenian ke depannya akan direncanakan pembangunan gedung kesenian di lahan kosong UIN. “Tapi itu baru sebatas wacana saja,” ujarnya. Mirzan melanjutkan jika benar akan direncanakan pembangunan gedung kesenian UIN Jakarta maka jangan dikomersilkan. “Itu akan sangat menyakitkan. Kami sudah cukup merasakan sakit terhadap penebangan pohon Kamboja.”

Laki-laki yang telah melalang di dunia teater ini memperlihatkan keprihatinannya terhadap pembangunan ruang PR. “Musik sudah dilarang dan sekarang intelektual tingkat tinggi (teater, red) sudah makin susah untuk berkreasi, dan jika tempat seperti Taman Kamboja saja ditiadakan maka kami merasa ruang gerak kami terbatasi.” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar