Hari keempat, perempuan masih menatap nanar luka itu di cermin. Lebam biru pada lengan kanannya, terdapat bekas cengkraman tiga jari. Terlihat biru kehitaman, begitu pekat dan kelam.
Perempuan sekali lagi mencermati bekas luka itu. Tiap detik, tiap menit, tiap jejal warnanya serta rasa sakit itu. Pikiran membawanya kembali kepada empat hari lalu, di mana semua itu terjadi.
Dalam ruangan sempit itu, ada mereka. Sepasang kekasih yang dahulu saling mencintai hingga mereka bisa merasakan setiap desahan nafas kehidupan cinta mereka. Dan perasaan kepada berbagi semua rasa sakit pada tubuh ini hingga pada sebuah titik keyakinan bahwa suatu hari nanti mereka dapat hidup bersama. Itu dahulu. Dahulu yang indah, dahulu yang menjadi impian mereka. Dahulu yang menjadi mimpi perempuan.
Kini, semuanya sirna, entahlah karena apa. Terdapat banyak alasan dan ego yang melingkari hidup. Sampai detik ini mereka bisa bersama, duduk dalam suatu ruangan bersama tapi tidak dengan hati mereka. Hati mereka mempunyai sisi lain, cara lain untuk mencapai suatu arah yang berbeda. Hati mereka beku, terlalu lelah untuk hidup berdampingan. Perempuan sangat mencintai pasangannya namun ia cukup menyimpannya, tidak mengekspresikan ke luar lingkup hati ini. Itu sangat membahayakan.
Dalam ruangan sempit itu, ada mereka. Sepasang kekasih yang saling mencintai dan sepasang kekasih yang terbakar api emosi. Tak redup oleh rasa cinta yang dulu diagung-agungkan. Atas nama cinta telah sirna, termakan oleh emosi.
Semua bagaikan hitungan detik. Dua jam di dalam ruangan itu, terasa dua detik. Dalam dua detik itu, perempuan hanya mengingat bahwa semua rasa sakit itu, rasa sakit perempuan dan lelaki, rasa sakit mereka telah melekat hebat. Makian, cacian, amarah, hingga main tangan.
Waktu kian memburu, sampai kepada saat semua yang menjadi ‘sebab akibat’ pada luka ini, lebam biru. Sampailah pada kata-kata itu.
Perempuan tak kuasa menahan air matanya. Untuk kesekian kalinya, ia menyeka itu semua, ingin mengusap sampai ke dasar rasa sakit. Namun, yang ada hanyalah perasaan bersalah sebagai perempuan yang hina, rasa yang teramat sangat mencintai terhadap pasangannya.
Perempuan mencermati lagi luka itu, tiap kali ia berpakaian, bercermin, mandi sehingga waktu terasa sering ia bertemu dengan cermin.
Perempuan ingin membunuh cermin itu, supaya luka itu terasa terbunuh ikut mati dengan perginya cermin. Ia menghitung setiap cermin di kamar tidurnya, kamar mandi dan belasan cermin di rumah ini. Ia ingin tak ada cermin. Ia ingin cermin itu punah dari sekeliling hidupnya.
Apa yang ia tatap nanar, kosong dalam cermin itu adalah sebuah akibat dari sikap perempuan. Perempuan tak menyangka bagaimana rasa cinta yang dahulu menyatukan mereka dapat meninggalkan luka sebegitu dalamnya. Ia tak tahu pasti apa yang merasuki laki-laki untuk berbuat demikian.
Cemburu buta, katanya. Perempuan memaklumi, tapi entahlah dengan semua rasa sakit ini. Sakitmu lelaki dan sakitku perempuan. Semua bermain tentang kebenaran semu.
Tiap cermin yang ada dalam hidupnya, ia biarkan hidup. Biarkan mereka sebagai saksi mati dari semua kisah perempuan. Biarkan cermin menghitung berapa lama lebam biru itu akan bertahan di lengan kanannya. Selama itu pulalah, perempuan akan merasakan ‘rasa hina’ yang sangat.
Jangan kau berikan obat. Karena setiap kali kau mencoba untuk menyembuhkannku, yang ada hanyalah luka dan luka. Sudah cukup luka ini berada pada tubuh ini, dalam raga ini, cukup lebam biru yang merasakan. Tolong, jangan kau berikan warna lain pada tubuh, sakit sekali.
Seperti katamu lelaki, aku juga sakit. Aku sakit melihatmu bersamanya. Aku emburu melihat foto kalian bermesraan. Aku membencimu dan mengapa kamu selalu membuatku jatuh cinta dan semakin mencintaimu lebih dalam. Aku juga sakit. Katamu saat itu.
Dan perempuan berkata, iya itu benar. Dan aku tak tahu mengapa itu semua terjadi di saat hati ini kesepian, kosong. Perempuan tak bisa berlogika lagi. Yang ada hanyalah kesakitan bodoh untuk saling berteriak siapa yang paling sakit, siapa yang paling benar.
Luka itu, luka pada lengan kanan perempuan mungkin akan hilang seiringnya waktu, dalam hitungan hari. Tapi, luka dalam hati ini belum tentu. Perempuan berharap kepada waktu untuk mengobatinya, menyembuhkannnya. Atas semua perasaan bersalah yang dirasakan oleh perempuan hingga ia seperti seseorang yang hina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar