Bagaimana bisa seseorang yang telah bersama merajut mimpi bertahun-tahun. Tiba-tiba semuanya terasa terhempas, menguap ke angkasa, terbang bersama awan. Perasaan cinta berubah menjadi selaksa kebencian.
Perempuan tak ingin ini semua, ia mengetahui dengan pasti. Tapi entah mengapa perempuan lelah, lelah untuk meneruskan perjalanan ini. Ia pun terhenti, duduk lemas di pinggir jalan, mengharap belas kasihan serta uluran tangan dari orang lain, siapa pun itu. Untuk sekian lama tak ada seorang pun. Tak ada namanya kekasih, sahabat, teman apalagi keluarga.
Perempuan pun sendiri. Kala hujan membanjiri, kala panas terik membunuhnya, ia hanya terdiam.
Perempuan berteriak, “Tolong aku….. Siapa pun di sana tolong aku….”
Dan tak ada satu pun yang mendengarnya atau mungkin mereka para manusia itu pura-pura tak mendengarnya. Sedih sekali. Perempuan mengemis kepada orang-orang yang lalu lalang di depannya.
Sambil mengiba dan wajah memelas, perempuan merintih, “Demi bumi, langit serta semua rasa cinta dalam hidup ini. Siapa pun yang kasihan terhadap makhluk hina dan naïf akan cinta. Tolong aku… tolong aku dari semua rasa sakit menunggu. Tolong aku… dari semua lelah air mata ini. Tolong aku… dari pengharapan yang semu. Tolong aku… harus bagaimana aku bersikap? Harus bagaimana agar ia memerdulikanku? Harus bagaimana agar aku diperhatikan, dianggap sebagai sosok perempuan yang ingin diperlakukan dengan lembut tanpa ada luka ragawi?”
Perempuan itu berhak untuk bahagia dan tersenyum. Perempuan pantas untuk dicintai dan mencintai. Perempuan juga ingin dimanja dan diperhatikan setiap waktu, hari, bahkan setiap detik. Perempuan ingin selalu dirindukan dan disayangi setiap saat. Perempuan ingin selalu dianggap ada kapan pun jua, kala senggang maupun sibuk. Perempuan dan perempuan yang selalu ingin……..
Andai kamu tahu itu, sayang…
Andai kamu rasakan itu, sayang…
Andai kamu mengerti itu, sayang…
Di sela kesendirian, keputusasaan itu, entah dari mana ia datang. Sesosok malaikat tak bernama. Malaikat yang berani mengulurkan tangannya hanya untukku, diantara ribuan pengemis di tempat itu. Tanpa ia mengenal siapa aku, dari mana asal aku, seperti apa masa lalu aku. Ia hanya tersenyum dan berkata, “Ayo, bangkit. Buatlah pondasi baru dan mari kita bangun bersama. “
Perempuan terkesima. Malaikat tak bernama itu seperti sinar memilaukan. Bila lama memandangnya mata terasa perih. Tapi, sinarnya sangat hangat, hangat sekali sampai-sampai ingin langsung didekap. Dekapan hangat nan indah yang lama sekali telah hilang. Perempuan ingin mendekapnya, tapi diurungkan niatnya. Terlalu dini. Terlalu cepat proses itu semua. Lagipula ia adalah malaikat tak bernama. Malaikat tak bernama ini terlalu mulia untuk dicintai oleh seorang makhluk senaif seperti sang perempuan. Perempuan menunduk lama. Bingung. Linglung terasa.
Malaikat tak bernama melihat ekspresi dari perempuan. Ia tersenyum dan berkata, ‘Tak apa-apa, akan aku tunggu sampai kau menggenggam tanganku dan kita bangun pondasi bersama.”
Perempuan langsung menangis. Kata-kata itu begitu sempurna, seperti sebuah harapan baru, rajutan baru dan sebuah keindahan baru. Ia tak kuasa menahan tangisan yang kian meledak. Hancur melebur bersama asa. Perempuan masih bertanya-tanya, masih adakah seseorang yang peduli padanya? Masih adakah seseorang yang telah mengatakan hal yang begitu indah terhadapnya? Siapakah ia? Kenapa ia dianugerahi kata-kata indah serta dapat meluluhlantahkan semua kesendirian ini?
Kelelahan bertransformasi menjadi sebuah anugerah kebangkitan semangat baru. Sumbernya begitu kuat sampai bisa menghasilkan energi positif untuk menjalani hidup.
Di sebuah padang edelweiss, perempuan dan malaikat tak bernama itu jalan beriringan, saling mengenggam kedua jari-jemari mereka. Sinar hangat mengelilingi, tak kenal lelah untuk saling mengenal satu sama lain. Tak kenal lelah untuk mengobrol, bercengkrama dan menghabiskan waktu bersama. Mereka menentang masa dan ruang yang membelah dunia di antara mereka.
Kini, perempuan dan malaikat tak bernama tinggal di sebuah negeri dongeng, negeri antah berantah. Di mana hanya ada kebahagiaan, kebahagiaan, kebahagiaan dan kebahagiaan selalu. Semoga…
Perempuan tak ingin ini semua, ia mengetahui dengan pasti. Tapi entah mengapa perempuan lelah, lelah untuk meneruskan perjalanan ini. Ia pun terhenti, duduk lemas di pinggir jalan, mengharap belas kasihan serta uluran tangan dari orang lain, siapa pun itu. Untuk sekian lama tak ada seorang pun. Tak ada namanya kekasih, sahabat, teman apalagi keluarga.
Perempuan pun sendiri. Kala hujan membanjiri, kala panas terik membunuhnya, ia hanya terdiam.
Perempuan berteriak, “Tolong aku….. Siapa pun di sana tolong aku….”
Dan tak ada satu pun yang mendengarnya atau mungkin mereka para manusia itu pura-pura tak mendengarnya. Sedih sekali. Perempuan mengemis kepada orang-orang yang lalu lalang di depannya.
Sambil mengiba dan wajah memelas, perempuan merintih, “Demi bumi, langit serta semua rasa cinta dalam hidup ini. Siapa pun yang kasihan terhadap makhluk hina dan naïf akan cinta. Tolong aku… tolong aku dari semua rasa sakit menunggu. Tolong aku… dari semua lelah air mata ini. Tolong aku… dari pengharapan yang semu. Tolong aku… harus bagaimana aku bersikap? Harus bagaimana agar ia memerdulikanku? Harus bagaimana agar aku diperhatikan, dianggap sebagai sosok perempuan yang ingin diperlakukan dengan lembut tanpa ada luka ragawi?”
Perempuan itu berhak untuk bahagia dan tersenyum. Perempuan pantas untuk dicintai dan mencintai. Perempuan juga ingin dimanja dan diperhatikan setiap waktu, hari, bahkan setiap detik. Perempuan ingin selalu dirindukan dan disayangi setiap saat. Perempuan ingin selalu dianggap ada kapan pun jua, kala senggang maupun sibuk. Perempuan dan perempuan yang selalu ingin……..
Andai kamu tahu itu, sayang…
Andai kamu rasakan itu, sayang…
Andai kamu mengerti itu, sayang…
Di sela kesendirian, keputusasaan itu, entah dari mana ia datang. Sesosok malaikat tak bernama. Malaikat yang berani mengulurkan tangannya hanya untukku, diantara ribuan pengemis di tempat itu. Tanpa ia mengenal siapa aku, dari mana asal aku, seperti apa masa lalu aku. Ia hanya tersenyum dan berkata, “Ayo, bangkit. Buatlah pondasi baru dan mari kita bangun bersama. “
Perempuan terkesima. Malaikat tak bernama itu seperti sinar memilaukan. Bila lama memandangnya mata terasa perih. Tapi, sinarnya sangat hangat, hangat sekali sampai-sampai ingin langsung didekap. Dekapan hangat nan indah yang lama sekali telah hilang. Perempuan ingin mendekapnya, tapi diurungkan niatnya. Terlalu dini. Terlalu cepat proses itu semua. Lagipula ia adalah malaikat tak bernama. Malaikat tak bernama ini terlalu mulia untuk dicintai oleh seorang makhluk senaif seperti sang perempuan. Perempuan menunduk lama. Bingung. Linglung terasa.
Malaikat tak bernama melihat ekspresi dari perempuan. Ia tersenyum dan berkata, ‘Tak apa-apa, akan aku tunggu sampai kau menggenggam tanganku dan kita bangun pondasi bersama.”
Perempuan langsung menangis. Kata-kata itu begitu sempurna, seperti sebuah harapan baru, rajutan baru dan sebuah keindahan baru. Ia tak kuasa menahan tangisan yang kian meledak. Hancur melebur bersama asa. Perempuan masih bertanya-tanya, masih adakah seseorang yang peduli padanya? Masih adakah seseorang yang telah mengatakan hal yang begitu indah terhadapnya? Siapakah ia? Kenapa ia dianugerahi kata-kata indah serta dapat meluluhlantahkan semua kesendirian ini?
Kelelahan bertransformasi menjadi sebuah anugerah kebangkitan semangat baru. Sumbernya begitu kuat sampai bisa menghasilkan energi positif untuk menjalani hidup.
Di sebuah padang edelweiss, perempuan dan malaikat tak bernama itu jalan beriringan, saling mengenggam kedua jari-jemari mereka. Sinar hangat mengelilingi, tak kenal lelah untuk saling mengenal satu sama lain. Tak kenal lelah untuk mengobrol, bercengkrama dan menghabiskan waktu bersama. Mereka menentang masa dan ruang yang membelah dunia di antara mereka.
Kini, perempuan dan malaikat tak bernama tinggal di sebuah negeri dongeng, negeri antah berantah. Di mana hanya ada kebahagiaan, kebahagiaan, kebahagiaan dan kebahagiaan selalu. Semoga…
hatiku terlalu angkuh untuk mengerti itu semua. dan dingin membeku. dalam hamparan ego. aku ingin kau untuk bersabar walau hanya sesaat , karena semua ini merupakan perjalanan.
BalasHapussekarang aku tak mau menyalahakan kalau kau merasa lelah dalam perjalanan ini.
maaf perempuan. waluapun aku mengetahui bahwa kata maaf tak lagi mampu untuk menghapus semua duka yang telah ku berikan.