Selasa, 14 April 2009

NYONTRENG PENTING NGGAK SIH?!

Suatu malam tepat sebelum hari Pemilihan Umum (Pemilu), 9 April 2009, saya masih berada di lingkungan kampus, rapat dengan kawan-kawan. Ada sebuah percakapan telepon dengan bapak saya tentang Pemilu keesokan harinya. 

“Masih di mana, nes? Sudah malam kok nggak pulang?”
“Masih di kampus, pak. Ada rapat, “jawabku singkat.
“Trus, kapan pulangnya? Ini kan sudah malam?” terdengar suara kuatir di seberang. 
“Yah, nanti malam banget, pak. Kalo nggak yah nginep, pulangnya besok,“ jawabku enteng. “Lho, kan besok Pemilu… emang nggak nyontreng?"

Dalam hati saya mengeluh kok bapak masih memikirkan masalah nyontreng padahal putri semata wayangnya masih berada di luar rumah. Kenapa nggak menanyakan sudah makan belum, besok pulang jam berapa atau apalah selain itu. Yah… memang begitulah bapak saya!

Ternyata, saya pulang sampai rumah larut malam sekali dan keesokan harinya, tragedi lelah menerjang dan membuat terlelap setengah hari. Alhasil, masalah nyontreng mencontreng pun terlewatkan. Saat terbangun, rumah sepi tak ada orang, hanya suara tidur abang saya dari dalam kamarnya. 

Satu jam terlewat dari acara bangun kesiangan banget, adzan zuhur sudah terdengar sejak satu jam yang lalu. Tiba-tiba, suara motor dari luar rumah. Bapak saya masuk mengenakan batik coklat, mama saya berpenampilan rapi sekali seperti ibu-ibu abis pergi kondangan dan tentu saja ada si bungsu yang rewel. 

“Dari mana pak, mah?” tanyaku kepada mereka. 
“Abis pergi jalan-jalan sama faiz (si bungsu) sekalian nyontreng dong!” dengan gembiranya mama menunjukkan kelingkingnya yang terdapat tinta bekas nyontreng. 
“Oh…” jawabku acuh dan melanjutkan aktivitas menonton berita di televisi. 
“Nes, nggak nyontreng? Kan sudah terdaftar sebagai pemilih, “bapak saya mencoba mengingatkan sebagai kewajiban seorang warga negara yang baik. 
Dengan asal-asalan saya menjawab satu kata, “Males!”
Bapak saya terheran-heran, “Lho…” 

Saya malah menjawab, “Bapak nyontreng siapa? Nyontreng partai apa? Kayak jadi simpatisan partai aja sih! Bapak nyontreng juga nggak dibayar. Trus, mereka kalo terpilih juga nggak bakal mikirin bapak, mikirin wong cilik! Yang ada maen banyak-banyakan kursi di DPR dan maen partai yang paling unggul. Nggak ada gunanya milih legislatif! “ dan de…el….el…el… perkataan non politis lainnya. 

Bapak saya terdiam, mungkin di benaknya nggak abis pikir kok putrinya bisa-bisanya mikir kayak gitu. 

Coba deh pikir, apa sih gunanya nyontreng? Milih caleg yang belum tentu kepilih nantinya akan mikirin si-pemilihnya? Belum tentu kan! Kalo gitu apa sih, gunanya nyontreng saat Pemilu kemarin? 

Jawaban saya, nggak ada gunanya sama sekali! Iya, nggak ada pentingnya. Karena memilih legislatif hanya akan menambah kursi mereka di DPR dan tentu saja menambahkan suara untuk menjadi partai unggul. Setelah mereka terpilih, belum tentu ingat dan memikirkan rakyat kecil. Mereka malah enak-enakan di kursi nyaman dan bisa jadi mencubit duit rakyat. Siapa tahu kan! Alasan non sense banget kalo dibilang untuk perubahan lebih baik, demi rakyat kecil dan sebagainya. 

Rakyat Indonesia semakin kehilangan kepercayaan akan janji semu politik. Dan akhirnya mayoritas memilih golput. Toh, namanya perubahan itu memang terjadi dan tetap saja rakyat Indonesia masih terpuruk. 

Dalam hidup ini ada dua permasalahan yang tidak akan pernah habis dibicarakan. Pertama, masalah cinta. Kedua, masalah bangsa Indonesia. Jadi, pemilu tetap tidak menjadi solusi terbaik dengan perubahan bangsa tapi setidaknya membuat negara ini lebih demokratis. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar