Rabu, 01 April 2009

CINCIN PERAK

Perjalanan harian yang membusuk, mencerna keputusan lalu menguap. Selaksa pertemuan kopi hitam dan cappuccino. Dan kami bertemu kembali. 

Hati berkata, ingin sekali aku mendengar suaranya, walau dalam hitungan menit. Jam sembilan pagi, saat itu hari akan terpotong dengan waktu shalat dan saat itu pula rasa malas, lelah datang membuat enggan untuk masuk kelas. 

Akhirnya, kami bertemu. Matanya bengkak, terlihat sembab begitu pun aku. Ia mengambil beberapa pakaian dari lemari dan memasukkannya ke dalam tas. 

“Mau kemana?” Ia tak menjawab. 

“Mau kemana?” untuk kedua kalinya terulang dan ia masih diam, tak mau menjawab, tak mendengar atau mungkin pura-pura tak mendengar. Masih membekas keputusan semalam, apakah tepat atau tidak. Tak ada yang tahu dengan pasti. 

Aku pindah tempat, menuju posisi paling pojok dalam ruangan. Ia tetap diam dalam posisinya. Hingga ia berdiri dan menghampiri, duduk di depanku. Menatap lekat-lekat. Kelopak mata penuh makna itu bersinar. Rambut yang selalu berantakan dan hanya aku yang selalu merapihkannya. Alis hitamnya. Matanya yang menyimpan ribuan makna. Hidung yang selalu kusapa dengan hidung babi. Bibir indahnya. Bulu kumis yang terkadang tumbuh tipis. Segala dalam dirinya, membuatku terkesima.

Ia angkat bicara, “Semalam aku tak tahu apa keputusan itu tepat atau tidak. Aku menyayangimu. Aku cinta kamu. “

“Aku juga,” jawabku pelan. Aku membelai rambutnya perlahan. Mengusap keningnya, kedua kelopak matanya. Menyentuh hidungnya dan bibirnya sangat lama. Menggenggam tangannya yang besar dan terasa hangat. Merasakan urat-urat nadi menjalar di tangannya. Mengamati setiap lekuk yang ada di wajahnya. Sesaat kemudian, isak tangis hadir. 

Beragam keputusan diacungkan. Tapi, tak ada yang pasti, mungkin tepat. Mengapa kehidupan dibuat serumit mungkin, tak ada jalan lurus. Sehingga belok kanan atau kiri itu tak ada. Bukankah jalan lurus itu diinginkan setiap orang, bahkan jika bertujuan baik. Lalu mengapa ini terlalu banyak tikungan, pilihan yang tak ingin dipilih. Diam saja sudah berarti memilih. 

Ia berkata ingin seperti delapan bulan yang lalu, saat Cupid menembakkan panah kepada kami. Seperti Romeo dan Juliet. 

Ada perasaan bahwa di antara kami tak bisa hidup satu sama lain. Saling terikat. 

Cincin perak yang berada di jari tengahku, kini terbelah menjadi dua. Satu masih bertengger di kanan jari tengahku. Namun, bagian satunya lagi berada di jari manis kirinya. Terpisah. 

Katanya, supaya mengingatkan satu sama lain. Terpisah oleh jarak dan waktu. Tidak dengan semua rasa ini. Cincin tersebut menjadi simbol dari segala rasa penyatu. 

Katanya pula, biarkan cincin ini terpisah menjadi dua sampai saatnya nanti ia kembali bersatu. Sampai aku berkata, sekarang saatnya kita kembali bersama. Dalam masa kini serta merajut dan merangkai segala mimpi bersama. Menuju sebuah ikatan serius dalam rumah tangga, berketurunan dan tentu saja sampai ajal menjelang. 

Seorang sahabat pernah berkata, permasalahan dengan siapa kita menikah itu gampang. Tapi pokok masalahnya adalah dengan siapa kita meninggal nanti. Siapa yang akan ada di samping kita. Hal tersebut yang perlu ditanyakan.  

Bayangkan tentang suatu pagi dan malam yang dilalui bersama, tentang saat di mana aku sedang meracik kopi untuknya dan ia sedang membaca koran. Saat aku mengenangnya dalam belasan buku harian dan mendongengkan kisah kepada cucu-cucu, tentang dirinya dan hidup ini. 

Ceritakan tentang semua sahabat yang memiliki potongan puzzle dalam hidup. Ceritakan pula tentang bagaimana rasanya jatuh cintanya dan pahitnya sebuah perpisahan. Ceritakan juga kepada mereka ketika sebuah idealisme berbenturan dengan romantisme. Ketika hasrat bercampur dengan nafsu. Di mana aku belajar untuk bangkit dan mandiri. Di mana aku bepergian melihat dunia luar terbentang luas. 

Begitu indahnya dunia ini! Begitu indahnya hidup ini! Would you to spend your life with me??? Tukarkan cincin perak ini dengan cincin yang lebih sakral maka akan kuletakkan di kiri jari manisku. 

1 komentar:

  1. aku terjebak dalam ingatan yang masih begitu hidup. namun, semuanya membuatku tak berdaya untuk sekedar berkata. hati yang berkecambuk dalam balutan rasa.
    dalam harapan ku malam menjadi siang.

    BalasHapus