Selasa, 24 Maret 2009

Kampanye kok di kelas!

“Siapa di antara kalian yang punya KTP Tangerang?”

Satu baris kalimat mengawali perkuliahan semester ini. Seketika teman-teman yang merasa mempunyai KTP Tangerang segera mengacungkan jari. Diselingi celetukan teman-teman lainnya dan iringan tawa. “Mau kampanye ya, pak?” Tanpa menghiraukan sang dosen sibuk mendata massa.


Drs. H. Sudirman Teba adalah dosen mata kuliah Sistem dan Hukum Media Massa di kelas Jurnalistik semester 6 UIN Jakarta. Ia terang-terangan kampanye di depan kelas. Awalnya, memperkenalkan diri sebagai calon legislatif (caleg) Daerah Pilihan (Dapil) Tangerang dari Partai Persatuan Pembangunan (P3). Lima menit kemudian, ia panjang lebar menjelaskan visi misi, permasalahan bangsa yang tak pernah usai dan segala tetek bengek politik lainnya.


Jika seperti ini bukankah jam kuliah selama 2 jam dengan bobot 3 SKS (Sistem Kredit Semester) akan terbuang sia-sia? Hal ini sama saja kami tidak mendapatkan ilmu apa-apa. Sang dosen tak menghiraukan. Sampai jam mata kuliah ini habis, intinya ia hanya membahas dirinya sebagai caleg.


Seyogyanya, apabila ia benar-benar adalah seorang dosen dalam bilangan “cerdas” takkan vulgar kampanye saat itu, apalagi dalam situasi akademisi (kelas, red). Kami-mahasiswa- bisa menilai segala sesuatu yang berbau politis. Lucu sekali rasanya, seorang dosen memanfaatkan jam kuliah hanya untuk berkampanye.


Dua minggu kemudian, saat Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan tanggal 16 Maret 2009 sebagai kampanye terbuka bagi setiap partai maka dosen tersebut membagikan sebuah buku karangannya bagi para mahasiswa/I di kelas tersebut, pastinya yang mempunyai KTP Tangerang.


Lain halnya, dengan seorang dosen yang juga mengajar di kelas Jurnalistik 6. Caranya pun berbeda, lebih “cerdas”. Ia dosen mata kuliah Teknik Penyuntingan Berita. Saat itu, ia menjelaskan tentang Bahasa Jurnalistik dan bahasa daerah. Dicari perbedaannya tapi di akhir penjelasannya-walaupun secara eksplisit- memperlihatkan bahwa dirinya sedang berkampanye. Terang-terangan pula ia membagikan brosur dirinya sebagai Caleg Dapil Jakarta Selatan, Jakarta Pusat dan Luar Negeri dari PDI Perjuangan dengan No. Urut 4, Drs. H. Helmi Hidayat, M.A.


Kedua contoh di atas, dengan cara berbeda pula mencoba membuka wawasan politik kami sebagai mahasiswa. Bahwa dari dua partai berbeda tapi berasal dari kaum muslim. Saya kenal bahwa setidaknya mereka bernafaskan “Islami”. “Islami” menurut saya dan anda mungkin saja berbeda!


Yah, saya berharap mudah-mudahan saja tidak ada dosen lainnya di kampus UIN Jakarta yang memanfaatkan jam kuliah untuk kampanye. Sangat nggak fear banget bagi mahasiswa. Sudah bayar mahal-mahal tapi kok yang didapat ocehan politik saja! Lambat laun kami bukannya kuliah tapi berbondong-bondong menjadi caleg. Akibatnya kelas kosong. Tak ada kuliah. Tak ada aktivitas belajar mengajar. Dosen dan mahasiswa sama-sama sibuk. Sibuk kampanye, toh!

2 komentar:

  1. betul nezt. hal spt itu hrsy nggak bisa dibyrkan. krn dua dosen lo tu telah berbuat dzalim. tak tau tmpat dan tak tau waktu.

    BalasHapus
  2. mereka kira mahasiswa itu kambing apa? bisa seenaknya aja digiring-giring untuk milih ini itu

    BalasHapus