Kamis, 12 Maret 2009. Ketika semua keindahan menjelma menjadi sebuah keputusan dari antah berantah. Malam berubah dingin, memasuki sumsum tulang, berpindah bagaikan monkey mind. Pikiran indah nan membingungkan. Diri perempuan dan lelaki menyatu, bercengkrama dalam asa, terkadang air mata. Hitam malam beku itu semakin menghilang. Berganti dengan keraguan dan kejutan dalam hidup. Kejut membuat terkaget-kaget. Tapi, itulah hidup.
“Mau kemana? Ingin pulang?”
“Nggak tahu…”
“Sudah setengah sembilan malam.”
“Iya,” jawab perempuan singkat.
Pandangan perempuan melayang, bertualang sejauh mungkin. Sang lelaki terdiam. Jarak kami hanya tiga langkah. Ia di depan perempuan.
Helaan nafas panjang terdengar di sela bahasa diam yang menjangkit ini.
“Aku ingin pulang.” Lelaki memegang tangan perempuan, menahannya untuk sepersekian detik. Tatapan itu membuat perempuan sedih. Andai saja lelaki ini dan perasaan ini mengerti segalanya, tentu takkan seperti ini jadinya.
“Ada apa? Ada yang masih ingin dibicarakan?”
Lelaki hanya diam. Bising kendaraan menghantui. Lalu lalang manusia menambah riuh suasana saja.
“Jangan melawan hati. Apabila ada yang masih ingin dibicarakan, kita bicarakan. Aku tahu arti tatapanmu itu.” Perempuan duduk di sampingnya.
Kosong dan senyap menjalar. Tiba-tiba lelaki buka mulut. Kali ini, tanpa ada Dji Sam Soe di tangannya atau emosi di antara kami. Suasana hati sedang datar, sejajar antara cinta dan benci. Keduanya berkelebat indah. Menari di antara kesepian, duduk berdampingan.
“Maaf untuk sikapku tadi. Entah kamu akan menganggapku egois atau apa, itu terserah kamu. Aku sungguh minta maaf. Aku sayang kamu. Aku cinta kamu. Tapi…”
Kata tapi tersebut menghentikan kosakata yang ada, dunia terhenti. Tangannya mengatup erat, wajah kecemasan menyelimuti. Air mata perempuan turut andil. Dalam hati sang perempuan, ia tahu kelanjutan dari kata tapi tersebut.
Namun, ia memutuskan untuk diam, saat ini dihegemoni oleh lelaki. Perempuan pasrah.
“Aku berat mengatakannya.”
Kembali lelaki berhenti bersuara.
“Aku berat mengatakannya. Tapi, sepertinya aku ingin sendiri dulu.”
Air mata perempuan pecah, beberapa kali ia menyekanya dengan jilbab. Lima menit dilewatkan dengan sunyi. “Sudah waktunya yah…”
Perempuan tersenyum dan berkata sekali lagi, “Sudah waktunya yah…Kamu bebas memilih jalan hidupmu. Kamu berhak berkata demikian. Aku mengerti. Mungkin kamu sudah lelah denganku dan letih dengan perjalanan ini. Kamu memilih seperti dahulu.”
“Sampai jumpa. Dah...” perempuan menepuk pundaknya tapi butiran air mata perempuan tak kunjung henti.
Sampai di sini, malam ini. Semuanya berhenti berdetak. Dan suara detakannya tak mau berbunyi lagi. Untuk saat ini atau selanjutnya. Semuanya kembali menjadi hening. Dari tiada menjadi ada dan menjadi tiada kembali. Dari kosong menjadi isi dan menjadi kosong kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar