Minggu, 25 Januari 2009

YANG MISKIN TAMBAH MISKIN

Tulisan ini sebagai apresiasi ironi sosok wanita di Stasiun Cikini. Saat itu saya sedang lalu lalang kampus-Cikini-rumah (Pasar Minggu).
Tiga jam berlalu tanpa hasil yang berarti. Hanya tampak beberapa uang logam lima ratus rupiah dan seratus rupiah di dalam mangkuk kecil.

Sang pemilik mangkuk, Aminah, 35 tahun, duduk lusuh di atas tikar, tangan kanannya menggendong bayi dan di sebelah kirinya seorang anak kecil tertidur pulas. Ia mengaku sudah dua tahun mengemis di Stasiun Cikini, Jakarta Pusat. Saat adzan ashar berkumandang, ia segera berangkat dari rumahnya di kawasan kumuh Manggarai, Jakarta Selatan menuju Stasiun Cikini dan menjalani profesi menjadi pengemis stasiun.
Wanita yang mengenakan kaus hitam dan celana selutut ini duduk bersila dan kepalanya tertunduk. Sesekali terdengar suara rintihan, mengiba kelaparan dan belas kasih. Ada yang berlalu begitu saja, ada yang iba dan memberikannya uang. Namun, hari ini (13/06) suasana terlihat sepi.
Tak jauh dari pemandangan tersebut, sesosok bapak berusia 45 tahun melakukan hal yang sama, menyeretkan kedua kakinya ke lantai dan berjalan tertatih. Dari ujung jalur dua menuju Bogor, Stasiun Cikini, lelaki tua itu menengadahkan tangan kanannya. Malam itu, hasil tak memuaskan juga didapatnya.
Ironisnya, pemandangan seperi ini selalu ada di setiap stasiun, terminal bahkan setiap sudut kota ini. Berdasarkan data Pemda DKI periode 2006-2007, jumlah penduduk miskin di Jakarta bertambah sekitar 70.000 orang. Jumlah penduduk miskin pada 2006 mencapai sekitar 560.000 jiwa menjadi 630.000 jiwa pada 2007. Data tersebut belum termasuk pasca kenaikan harga BBM. Diperkirakan jumlah penduduk miskin akan bertambah banyak lagi dan penduduk yang sudah miskin menjadi tambah miskin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar