"Ada seseorang yang mengirimkan tulisan ini untukku. Seseorang yang menamai diriku dengan "Bunga Liar". Menurutnya, aku tak tersentuh olehnya dan aku benar-benar sangat tak ingin tersentuh bahkan oleh lawan jenis. Namun, ia mengirimkan kata-kata ini dan membuatku berfikir banyak tentang aku dan dia."
Tahukah kamu, aku menulis tulisan ini diantara keresahan-kerasahanku di antara tatapan mata yang menatap dengan pandangan asing. Malam yang terasa begitu mencekam di antara lurung hati yang membeku. Saat itu aku hanya mampu memandang apa yang ada dalam pandanganku.
Malam itu terasa sangat sepi hanya kata terus teriang-iang dalam benak dengan sejuta tanda tanya apa yang telah terjadi. Akan kucurahkan kepada siapa kegundahan hati ini.
Dan aku tak berharap dengan tulisan ini mampu merubah pandanganmu terhadapku, aku hanya ingin kau tau ternyata aku tak bisa mengelak dari diriku bahwa ada sesuatu yang ada dalam hati ini.
Masih malam itu juga taukah kamu, aku seperti dari mahluk lain yang lahir ke dunia sehingga aku tak mengenal kata maaf. Entah kata apa yang pantas untuk ini. Hanya sekedar kata maaf sebagai perwakilan penyesalan kiranya hanya pantas diberikan kepada anak yang merengek meminta uang jajan. Karena kata maaf memiliki nilai kata yang tak hanya keluar dari mulut begitu saja, tetapi memiliki hal yang lebih. Begitupun ucapan terima kasih meskipun keduanya begitu mudah untuk diucapkan. Ini kata yang lebih dalam melibihi dalamnya lautan. Sehingga tak akan pernah ada batasan akan ini. Sembari menyelam menelusuri loronng-lorang hati diantara kebencian dan sayang saling berpadu. Meskipun aku amat sering terjebak dalam ketakberdayaan, penuh pandangan kehampaan. Dan aku mulai menyadari apa yang telah terjadi dengan semua ini. Mulut seperti tak punya daya untuk berbicara hanya mampu menahan detak jantung yang berdetak kian kencang. Hingga kejujuran akhirnya terbukam dan setelahnya kembali aku termenung.
Jika ini merupakan hal yang terbaik dari yang terbaik meskipun akan menjadi hal tak pernah aku mengerti apa kata baik itu sendiri. Karena kekuatan hasrat yang telah menjadikan keegoan dalam sebuah tanya apakah semuanya dapat luluh dan terlarut dalam kesejukan.
Berikan kata indah seindah bunga edelewis, sedalam-dalam yang tak akan terwakilkan, namun semuanya hanya ada dalam fantasi karena semua tak pernah bisa terwakilkan. Meskipun aku selalu mencoba untuk melewati batasan-batasan yang telah menjadikan jarak. Akhirnya aku berfikir bahwa diantara kita benar-benar terdapat dua garis yang begitu berbeda aku merasakan satandarisasi atas apa yang harus ku perbuat. Kau begitu tinggi hingga aku tak akan mampu untuk menggampainya. Hingga aku mulai bertanya mampukah mampu berdiri sejajar.
Entahlah adakah garis penghubung, ketika semua terpisahkan oleh waktu dan ruang, selain penantian yang begitu melelahkan dan menjenuhkan. Apakah aku akan lari sehingga menjadikan aku pencundang dari semuanya atau menanti yang tak pernah aku mengetahui ujung dari ujung semua ini. Hingga aku mampu menggampainya,
Saat ini ada orang yang datang hanya untuk menamparku sehingga membuat aku sadar bahwa aku sedang tidur pulas. Atau biarkan aku tertidur dalam buayan kasih sayang begitu samar.
Saat semua telah terbangun dan hadir dalam dunia nyata hingga semua telah tersadarkan bahwa akan hadir tangis, takut, gelisah, resah, bahagia yang telah menyelimuti kehidupan ini. Misteri kehidupan yang tak akan terpecahkan. Atau kematian yang akan hadir dalam suasana yang begitu mencekam.
Dalam hal yang telah menjadikan aku sehingga hasrat berkata berharap pagi akan hadir meskipun aku tak pernah mengetahui kapan itu akan terjadi dan aku tak tau waktu akan membawa aku kemana.
Dan untuk hal lain saat aku mencoba menulis ini, saat itu cahaya bulan terasa amat sukar untuk dilukiskan aku mencoba menulis kembali diantara malam yang bermandikan cahaya rembulan. Perjalanan waktu terasa begitu cepat dan semua telah terlewatkan. Hingga aku merasakan dirimu tak hanya hadir untuk singgah dan berlalu begitu saja tampa bekas. Sehingga aku pernah berharap bunga tumbuh di telapak tangan penuh harap, dan aku juga pernah meminta biarkan aku untuk berlari dan berharap setiap langkahku menghapus jejak-jejak langkah sebelumnya. Dan kesadaran aku berkata ternyata itu hanya keangkuhanku aku tak akan pernah bisa. Biarkanlah aku menyanyangi seperti angin yang berhembus atau air yang mengalir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar