Minggu, 25 Januari 2009

SANG PRIMADONA


“Ufff…hujan lagi!” Gerutuku didalam hati. Sudah 3 hari berturut-turut hujan selalu turun. Tanpa menyapa dan permisi terlebih dahulu. Dengan perasaan kesal, aku mempercepat langkah kakiku. Hari ini adalah hari Rabu. Entah mengapa, setiap pagi, hujan senantiasa turun di सात semua orang sedang sibuk-sibuknya memulai aktivitas pagi।

Bagiku, hujan datang ketika aku memulai aktivitas keseharian adalah sebuah kesialan। Ditambah pula dengan kebiasaanku yang serba bangun siang. Ditambah lagi jadwal semesterku selama 4 hari dalam 1 minggu, aku masuk pada jam pertama dan mayoritas dosennya adalah dosen killer dan ontime.

Aku melirik jam tanganku। Pkl. 07.00 tepat. Aku berpikir keras, memikirkan cara paling tepat supaya tidak telat. Aku memaki diriku sendiri, “Gara-gara bangun kesiangan.” Bahkan, mamaku juga sempat-sempatnya memberikan siraman rohani pagi yang panjang seperti rel kereta api, “Salah siapa! Kan sudah dibangunin berkali-kali sama mama. Terus, siapa suruh semalam ngetik tugas sampai jam 2 malam. Sekarang, yang disalahin mama lagi……,” dan beribu kata-kata pedas lainnya yang menjadi siraman rohani pengganti sarapan tadi.

Pagi ini mentari tampak malu-malu menunjukkan jati darinya। Justru dengan tersenyum lebar, awan pekat disertai rintik-rintik hujan deras semakin membuat mentari malas untuk bangun. Baru selama 1 jam hujan membasahi bumi ini saja, kemacetan lalu lintas sudah terlihat.

“Bang, kiri, bang!” Aku memberhentikan laju angkot Depok-Kp। Rambutan. Setelah memberikan uang kertas seribuan dan uang logam 500 rupiah aku langsung menyeberang. Walau keadaan cuaca tak bersahabat tapi aktivitas para pekerja kantor dan pelajar tampak terlihat. Di sepanjang trotoar Pasar Rebo dan Jalan Baru Kp. Rambutan tampak sangat ramai. Manusia dengan beribu aktivitasnya di pagi hari. Bahkan ditengah hujan deras, tak menyurutkan semangat mereka untuk memulai aktivitas. Walaupun dengan membawa payung. Begitu pun denganku.

Aku melirik jam tanganku lagi। Oh, My God! Lima menit telah berlalu begitu saja tanpa ada hasil apa pun. Bahkan Sang Primadona belum juga terlihat ujung pangkal hidungnya. Padahal sudah banyak para penggemar yang telah menunggu lama.

Lihat saja, para manusia ini sama-sama melirik jam tangan dan kedua kelopak mata mereka tertuju pada satu objek yang sama। Di bibir mereka bergumam ucapan kesal dan rasa cemas. Kening semakin mengkerut. Objek penglihatan mereka tertuju pada satu titik yang sama, yang belum jua muncul sedari tadi. Di ufuk barat, banyak pemilik kedua bola mata yang semakin gila mencari-cari dengan giatnya. Walau tak kunjung memberikan hasil.

Aku pun semakin cemas। Sepuluh menit berlalu. Hujan yang sedari tadi sangat deras mulai terlihat letih dan mencoba menyisakan rintiknya untuk esok hari. Awan pekat perlahan-lahan mulai berganti jalur, berganti dengan awan putih laksana gula pasir halus. Dimana-mana jalan dan aspal telah tergenangi oleh air hujan, sama rata. Metromini berwarna kuning, yang menjadi objek penglihatan kami belum juga muncul.

Aku melirik kepada salah seorang wanita berseragam kantor dan disebelahnya lagi terdapat bapak setengah baya। Mereka sama-sama memancarkan raut wajah cemas, sebentar-sebentar melirik jam tangan. Ada senyum geli dan lucu melihat adegan seperti ini setiap pagi. Hampir setiap hari adegan seperti ini aku lihat, khususnya bila hujan tiba dan setelah hujan reda. Bukan maksudku untuk menertawakan mereka, tapi hanya saja ini adalah salah satu aktivitas manusia yang mengasyikkan untuk ditertawakan.

Ternyata, yang ditunggu pun tiba। Sebuah metromini berwarna kuning muncul dari arah Terminal Kp. Rambutan. Bibirku-pun langsung tersenyum bahagia. Seketika, aku melirik ke arah para penggemar Sang Primadona, mereka melakukan hal yang sama denganku. Langkah kaki semakin dipercepat, kedua mata tertuju kepada objek yang sama. Laju darah beserta adrenalin semakin meningkat, perlahan-lahan namun pasti. Stimulus otak memerintahkan kaki untuk bergerak dengan cepat. Bergerak secepat mungkin. Langkah pun berubah, langkah kaki dari yang seharusnya satu langkah telah menjadi dua langkah.

Laksana para karyawan yang ingin mengambil gaji, mereka saling berebut langkah. Tak mau kalah dengan mereka, aku pun semakin mempercepat langkah. Bisa dibilang, pemandangan ini sama seperti antrian orang-orang yang ingin menaiki kereta api ekonomi jurusan Bogor-Jakarta (Kota). Setiap pagi saat jam keberangkatan dan pulang kantor, setiap orang berebut tempat untuk menaikinya, dengan tujuan yang sama tidak ingin bergelantungan di pinggir badan kereta.
Selama beberapa detik, semua mata tertuju kepada Sang Primadona, metromini berwarna kuning tanpa berkedip sedikit pun। Perlahan-lahan ia mulai mendekat dan menghentikan laju jalannya. Di tepi tubuh Sang Primadona, kami saling berebut menaiki. Dengan sigap, kami beradu sikut dan kaki. Didalam, sudah terlihat sebagian badan Sang Primadona telah terisi oleh para penumpang.

Dengan tatapan tajam dan menusuk, mereka melihat adegan kejam nan mengasyikkan tersebut। Akhirnya, dengan perjuangan hebat, sikut kanan sikut kiri, aku berhasil juga masuk kedalam tubuh Sang Primadona. Seketika tubuhnya pun telah terpenuhi oleh sesak manusia. Aku menoleh keluar jendela, terdapat pemandangan raut wajah kekecewaan para penggemar yang tidak mendapatkan ruang didalam tubuhnya.

Aku memperkirakan didalam tubuhnya telah terisi sebanyak kurang lebih 50 penumpang, setengah dari quota sebenarnya। Bagaimana tidak sesak, hampir tidak ada ruang untuk bergerak sedikit pun. Diantara para penumpang hampir saling temu pinggul dan pundak. Tak bisa bergerak sedikit pun. Yang terpenting adalah sang induk dari tubuh manusia masih bisa terlihat dan indera penciuman masih berfungsi untuk bernafas.

Setelah tubuh Sang Primadona terisi penuh oleh jejalnya manusia। Dengan cekatan, sang sopir menarik gas dan kian mempercepat laju kecepatannya apalagi ketika memasuki gerbang tol Pasar Rebo. Dengan sigap sang kondektur meminta bayaran. Laksana tubuh dan tubuh slim, ia berhasil menerobos setiap inci ruang kosong dalam tubuh Sang Primadona. Rasanya, pemandangan tersebut seperti didalam iklan Natur Slim saja. Setiap ada ruang kosong ia berhasil menyelipkan tubuhnya.

Adegan bisu didalam Sang Primadona। Raut wajah penumpang terlihat lucu, bibir terkatup, bisu, entah memikirkan apa. Sepasang mata menerawang keatas langit-langit Sang Primadona. Laju Sang Primadona kian cepat, kira-kira 80/km per jam, tanpa ada gerakan menginjak pedal rem sedikit pun. Tanpa perintah atau isyarat apa-pun tangan kanan para penumpang memegang pegangan besi diatas atau pada pegangan besi di bangku tempat duduk.

Raut wajah para penumpang terlihat gelisah। Aspal jalan tol masih tergenangi oleh air hujan pagi ini dan oleh hari-hari sebelumnya. Tanpa memerdulikan keselamatan kami, sang sopir makin menambah kecepatannya. Para penumpang ada yang melirik kearah sopir dengan tatapan jengkel, ada juga yang semakin mengeratkan pegangannya.

Aku melihat seorang ibu, berumur kira-kira 30 tahun keatas, membawa tas besar dan menggendong bayi। Tangan sebelah kanannya memegang tas besar, sebelah kirinya menggendong bayi dan tanpa memegang pegangan apa pun. Lalu, aku menengok kesamping kiri, tidak begitu jauh dari posisiku berdiri. Terlihat seorang nenek, sebaya dengan nenekku yang telah berumur setengah abad. Berpakaian layaknya ibu-ibu yang ingin pergi mengaji. Tertutup aurat dan mengenakan jilbab lusuh diatas kepalanya, semuanya tampak serasi berwarna hijau muda. Jika sang pengendara Primadona menaiki kecepatan laju kecepatannya, bibir nenek tersebut tidak lepas dari istigfar.

Anehnya, tidak ada seorang pun didalam tubuh Sang Primadona yang mempunyai rasa iba untuk menawarkan tempat duduk. Semuanya asyik dalam kesibukan masing-masing, ada yang tertidur dan ada pula yang pura-pura tidak melihat. Tiba-tiba saja, Sang Primadona menginjak pedal gas rem. Seketika pun, para penumpang tersentak dan semakin mengecangkan pegangan. Ada pula yang menggerutu kesal dan memaki sang sopir. Tapi, sang sopir dengan santai dan dengan rasa tak bersalah meneruskan perjalanan bahkan dalam kecepatan yang seperti tadi.
Aku berpikir dan sempat terlintas sebuah pikiran nakal, Seandainya, selama perjalanan Tol Pasar Rebo sampai Tol Pondok Pinang Sang Primadona mengalami kecelakaan yang mengakibatkan para penumpang banyak yang tewas dan terluka, pasti Pemda setempat akan memikirkan cara terjitu untuk mengatasi bahkan mengurangi kecelakaan tersebut supaya tidak terjadi lagi।

Aku tersenyum geli, memikirkan ide bodoh nan nakal yang terlintas di benakku. Sebuah ide irrasional dan tentu aku tidak ingin hal tersebut terjadi. Lima menit menuju setengah delapan. Aku mengambil telepon selular pink-ku dan menulis short message.
Mi, kalo dosen’a dh dateng mc gw ya, gw msh di dlm mobil nich!blz!!!
Selesai menulis short message, aku memencet tombol sebelah kiri Options, Send lalu Search. Jempol-ku masih mencari keberadaan nama Mia didalam kontak telepon selularku, setelah ditemukan lalu aku memencet tanda Ok dan Yes.
Berselang sepuluh menit kemudian, aku telah sampai di tempat tujuan perjalanan pagi, kampus tercinta. Aku mempercepat langkah kaki supaya segera sampai ke tempat ruang kuliah.
***
Hari Kamis, hujan kembali turun layaknya kemarin. Aku mempercepat langkah. Lagi dan lagi aku telat bangun. Sesampainya di Pasar Rebo, rintik hujan masih saja deras.
Seorang loper Koran meneriakkan kata-kata yang membuatku tersentak। “Koran…. koran…Koran…. masih hangat…. masih hangat…॥ berita hangat dan terbaru. Metromini 510 jurusan Kp. Rambutan- Ciputat kemarin sore kecelakaan di tol Pondok Pinang. Ayo…Ayo…. masih hangat…..masih hangat….” ditengah hujan deras dan tubuh dibasahi oleh hujan, dengan semangat berkobar loper koran tersebut menjajakan dagangannya layaknya gorengan yang masih hangat.

Aku berhenti melangkah dan membalikkan badan, “Mas! korannya satu!” teriakku dengan lantang.
Loper koran tersebut langsung menengok kearahku dan menghampiriku, “Koran?! Koran yang mana, mbak?”
“Itu! Koran yang ada berita kecelakaan di 510, “tunjukku kepada salah satu koran yang terbungkus plastik putih. Ia mengambil salah satu koran yang sedang dipeganginya.
“Oh, yang ini!” ia mengambil koran tersebut dan memberikannya kepadaku. Aku mengambil uang kertas seribuan dua dari kantongku dan memberikan kepadanya.
“Uh, mbak gak bakal rugi deh beli koran ini। Abisnya ini berita lagi hangat-hangatnya. Banyak yang pada beli. Kan selama ini di 510 jarang ada kecelakaan, pokoknya hampir gak ada deh mbak selama ini. Pas ada uh… beritanya jadi heboh kemana-mana. Udah gitu, mbak liat sendiri kan, sekarang aja orang-orang jadi takut mau naek 510, takut kayak kemaren sore, mbak!“ujar loper tersebut dengan bersemangat.

Aku tidak mengubris perkataannya। Objek utama penglihatanku hanya kepada headline dikoran tersebut. Setelah koran tersebut berada digegamanku, tanpa mengucapkan terima kasih, aku langsung menyeberang jalan.

Langit masih saja muram, awan belum berganti suasana, angin masih terus menerus berhembus kencang, sangat lirih. Sebagian tubuhku telah terbasahi rintik-rintik hujan. Terlihat banyak orang yang menepi sekadar menghindar dari rintik hujan. Aku masuk kedalam sebuah warung kopi, yang mulai terpenuhi oleh manusia yang kebasahan. Pandanganku tidak terlepas dari headline. Dengan seksama aku membacanya.

510 MENELAN KORBAN

Jakarta, POS KOTA- Rabu kemarin sore pada pukul 17.30 WIB, terjadi kecelakaan di Jalan Tol Pondok Pinang. Kecelakaan yang tidak disangka akan terjadi akhirnya terjadi pula pada angkutan metromini 510 Jurusan Kampung Rambutan-Ciputat. Kecelakaan ini menewaskan kurang lebih 15 orang penumpang dan penumpang lainnya luka-luka. Para korban kecelakaan segera dilarikan ke Rumah Sakit Fatmawati. Diperkirakan kecelakaan ini terjadi karena laju kecepatan metromini yang melampaui batas rata-rata dan menabrak sebuah kijang Innova. Sopir didakwa menjadi tersangka penanggung jawab dari kecelakaan ini. Tapi, sopir dan kondektur tersebut ikut menjadi korban naas dari kecelakaan.

Aku menarik nafas dalam-dalam, kedua mataku menerawang entah kemana। Dadaku terasa sesak dan penuh pilu. Sang Primadona marah dan meminta korban. Ia mengeluarkan gejolak emosinya. Aku berpikir keras alasannya. Karena apa? Apakah karena tubuhnya selalu disesaki oleh quota penumpang yang tidak seharusnya? Sehingga ia merasa sesak, penuh jejal manusia Atau karena ia sudah lelah dari perjalanan hidupnya. Aku menghela napas panjang. Aku sadar sekeras apapun aku berpikir, aku tetap tak menemukan jawabnya.

Tak habis berpikir, masih terlintas untuk memikirkannya। Apakah dengan ini caranya? Walau dengan menghancurkan dirinya sendiri. Tapi Sang Primadona tetap ingin menjunjukkan amarahnya. Aku menutup wajahku dengan koran.

Lima detik kemudian, dengan tatapan kosong sepasang mataku melihat kearah puluhan manusia yang sedang berteduh di tepi ruko। Dadaku penuh sesak. Kedua mataku menerawang dengan tatapan kosong, tak tentu arah.

Langit sudah mulai terlihat awan putih, perlahan-lahan menunjukkan senyum cerahnya. Manusia yang tadinya meneduh, mulai menunggu angkutan umum. Aku masih tak percaya dengan headline yang baru saja kubaca. Lengan dan kakiku lemas tak bertenaga. Tak henti berpikir penyebabnya aku terus saja bergumam, “Sang Primadona marah!”
***
Satu tahun kemudian। Hari ini cuaca sangat cerah. Sejak adzan subuh dikumandangkan, perlahan-lahan dengan tidak malas dan malu mentari menunjukkan keperkasaannya. Ia dengan penuh bersemangat, tersenyum kepada seluruh manusia di bumi yang sedang memulai aktivitas pagi hari. Semua penjaga toko dengan senyuman membuka toko miliknya. Satu per-satu aktivitas manusia tampak terlihat dan lambat laun manusia yang ingin berangkat mencari nafkah, berangkat ke kantor atau pun yang ingin berangkat ke sekolah mulai keluar dari peraduannya.

Seperti biasa, sama dengan hari-hari lalu dan dalam kebiasaan yang belum bisa kuubah। Aku setengah berlari menyeberang jalan, mengejar waktu. Waktu yang mungkin saja belum bisa kukejar dengan langkah kakiku.

Diujung pelupuk mata, terlihat metromini berwarna kuning berdiri gagah. Aku tersenyum kepada Sang Primadona yang masih setia berada di posisinya. Walau pernah ada hari kelam nan kelabu dan penuh amarah yang sempat menghiasi kehidupannya, selama satu tahun terakhir ini. Pada sebuah kecelakaan naas yang mengakibatkan Sang Primadona beserta awak penumpangnya hancur dan terlerai berai.
Aku menaiki Sang Primadona. Masih lenggang dan belum banyak penumpang. Aku tersenyum lega dan puas, ada sebuah pemandangan baru. Di sisi kiri jalan menuju arah Pasar Rebo, Cilandak, Fatmawati dan Lebak Bulus ada sebuah pembangunan jalan. Pembangunan menuju kehidupan yang lebih baik.
Mengingat tragedi Sang Primadona satu tahun lalu, Pemda setempat memprakarsai sebuah pembangunan jalan. Kira-kira satu tahun ke depan pembangunan tersebut akan selesai. Dimana-mana akan ada Busway dan lalu lalang Transjakarta menuju arah kampusku. Mungkin, ini adalah tujuan dan harapan dari Sang Primadona, menuju kepada kehidupan yang lebih baik.
Dalam hitungan beberapa menit saja, tubuh Sang Primadona telah terisi penuh manusia। Suasana menjadi kian sesak dan sedikit oksigen yang ada. Para pekerja proyek terlihat giat dan asyik mengerjakan pekerjaannya. Dengan tubuh yang telah terbasahi keringat, mereka masih tampak bersemangat.

Mentari pagi membawa suasana hangat menyinari bumi dan makhluk didalamnya. Aku semakin melebarkan senyumku. Senyum yang benar-benar lebar dan manis kepada Sang Primadona dan pembangunan trayek busway.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar