Aku memandangi selembar kartu nama. Terus kupandang sampai tanganku terasa gemetar dan keringat dingin mulai membanjiri. Gigi-gigi depanku mengigiti bibir dengan geram. Aku tak kuasa dalam ketakberdayaanku. Aku mengenggam erat kartu nama tersebut, meremasnya sampai lecek. Tulisannya pun kian tak terlihat oleh mata. Aku membuka genggaman eratku dan membaca kembali tulisannya yang telah kubaca berulang-ulang kali sebelum mencapai tempat ini.
Klinik Jiwa, Ane Syaihuna, M.P, Si
Jl. Sumatera Barat No. 20
Jakarta Timur
021- 780 567 324
Lembaran kartu nama itu masih kugenggam erat. Sekali lagi aku meremas-remasnya sampai tak terlihat bentuknya. Aku mengernyitkan alis, rasanya pusing sekali. Aku memijit-mijit kening kepalaku dan menyadarkan bahu ini kepada pundak kursi. Kedua kelopak mata ini berontak ingin memejamkan mata. Ufff, God… aku tak segila ini sampai harus kemari. Akal sehatku mulai mengeluh, mencoba memberikan pembelaan diri terhadap alam bawah sadarku.
Kalau merasa tak gila kenapa selama ini seperti orang gila? Tak bisa membedakan antara alam realitas dan alam metafisik? Kemana akal sehatmu? Kau selalu membuat pembelaan diri padahal dirimulah yang SAKIT!!! SAKIT dan HARUS BEROBAT! Terima kenyataan itu sobat!!!
Alam bawah sadarku kian membuat runtutan pertanyaan, membuat diriku terasa kalah. Skak Mat. Mati rasa dalam seketika. Tambah satu poin lagi yang disebutkan oleh alam tak sadarku.
Kata terakhir yang membuatku tersentak hebat adalah kata SOBAT. Sobat dari semua kegilaan ini. Aku tersenyum tipis, menertawakan diriku ini. Sejak kapan aku telah menjadi sobatnya. Sejak kapan???
Air mata semakin tak terelakkan, keluar tanpa permisi. Aku kian terhenyak dengan semua kegilaan ini dan kata Sobat. Aku merasa sendiri, tak punya siapa-siapa dan tak ada volunteer yang mau menemaniku. Sepi.
Aku menutup wajahku dengan telapak tangan. Aku akan kalap. Tidak! Tidak boleh kalap apalagi di tempat seperti ini. Seketika aku teringat akan kejadian semalam, obrolan kecil dengan sahabatku yang pada akhirnya ia kekeuh memaksaku harus ke tempat seperti ini.
“Ran, elo harus ke tempat ini. Ke psikiater. Jangan khawatir tentang dokternya. Dia kenalan bokap gue. Bisa dipercaya! Gue jamin, Ran! Pokoknya elo HARUS KESANA!!! HARUS!!!!”
Aku masih terdiam seribu bahasa lisan dan tubuh. Masih hanyut dalam pikiran alam bawah sadarku. Seketika ia mengagetkanku dengan ultimatum yang bagaikan perintah bagiku. Tak bisa kutolak padahal berpuluh puluh ribu sel waras dalam tubuhku memberontak. Aku menundukkan kepala. Lesu dan ingin menangis. Ega yang tadinya telah memberikan ultimatum, melihatku seperti ini mulai merasa bersalah.
“Ran, gue tau kalo sikap gue terlalu keras ke elo. Tapi, ini semua adalah jalannya. Solusi dari semua rasa penat, beban dan masalah-masalah elo. Udah cukup dengan percobaan bunuh diri. Udah cukup dengan elo selalu menangis diam-diam. Udah cukup juga elo selalu tertawa, tampak bahagia didepan orang lain padahal diri elo sakit. Merana. Udah cukup dengan itu semua, Ran! Plis, dengerin sekali aja nasehat gue. Plis, Ran… Gue mau elo dapat kebahagiaan yang selama ini elo cari. Gue mau elo tersenyum tanpa ada rasa sakit. Udah cukup juga elo nyalahin orang yang selalu nyelamatin elo saat elo bunuh diri. Gue cuman mau elo tersenyum nantinya. ”
Ia membelai rambutku dengan lembut. Mencurahkan perhatiannya yang selama ini bagiku adalah kesia-siaan belaka. Aku mengenalnya sejak masih berumur 5 tahun sampai umur sekarang ini, 18 tahun. Aku tak kuasa menahan butiran kristal-kristal air ini, dalam waktu 10 detik membuat tangisanku kian meledak.
“Ga, gue tau itu semua. Tapi, kalo elo kasih gue kartu nama ini sama aja elo anggep gue itu gila. GILA, Ga! GILA, GA!!!”
Terpampang ekspresi kaget diwajahnya. Terlihat wajah bersalah yang memelas, mencoba menunjukkan perhatiannya terhadapku. “Sori, Ran. Gue enggak bermaksud begitu. Tapi, gue mohon elo coba untuk datang ke klinik ini. Kalo elo enggak cocok yah gue enggak bakalan complain lagi. Gue janji. Sumpah. Suer!!!!” Ia tersenyum manis sembari jati telunjuk dan jari manis di jemarinya membentuk huruf V.
Ucapan mantap Ega membuatku sedikit tersadar walau beribu sel mencoba memberontak. Nyatanya, hari ini, detik ini aku berada di tempat yang Ega benar-benar harapkan. Sebuah tempat yang memang untuk orang-orang yang merasa dirinya berada dalam jurang rasional.
“Rana Mandalawangi...”
“.......”
“Rana Mandalawangi...”
“.......”
“Saudari Rana Mandalawangi...” Panggilan tegas wanita setengah baya yang berpakaian kemeja pink tersebut membuatku kembali ke alam sadar ini. Dengan ragu aku melangkahkan kaki menuju pintu yang sedari tadi ku pandangi.
Gagang pintu kupegang erat dengan kelima jemari tangan kananku, daun pintu mulai terbuka perlahan. Kudorong perlahan-lahan sampai setengah dari tubuhku mulai masuk ke dalam ruangan. Ruangan terlihat kosong. Semuanya tampak putih dimataku. Kosong.
Aku melangkahkan kaki satu demi satu dan menuju ke sebuah bangku kosong. Perlahan aku menempatkan bagian tubuh bawahku dengan posisi senyaman mungkin dan menyandarkan bahu ini ke kursi. Aku menunggunya, sang dokter untuk muncul. Tiba-tiba aku tersenyum. Bukan senyum lebar dengan kebahagiaan di dalamnya, tapi seutas senyum yang aneh. Aku berada di bangku pasien. PASIEN? Pasien apakah? Apakah pasien sakit jiwa? Dengan tokoh utama yang sedang duduk dalam ruangan ini. Dan itu adalah aku, sebagai sang pasien.
***
Lima menit berlalu tanpa kepastian. Aku terdiam. Berpikir keras dan mencoba mencerna sel-sel dari kewarasanku. Ini semua lelucon. Lelucon. Tempat ini juga adalah lelucon. Terlebih lagi aku yang dengan sukarela berada di tempat ini juga adalah lelucon. Semuanya lelucon. Lelucon menyedihkan. Aku menutup wajahku. Sedih yang benar-benar menyedihkan.
Aku dibiarkan sendiri di dalam ruangan 4 x 6 ini. Mengamati sekelilingku yang ku rasa semua warnanya menjadi putih. Tak ada warna lain. Terdengar suara pintu dibuka dari belakangku. Aku menoleh. Seorang perempuan setengah baya menyapaku ramah.
“ Rana yah... Aku Ane Syaihuna. Tapi panggil saja Ane, “ia menjulurkan tangannya dan mengajakku berjabat tangan.
Aku tersenyum tipis sambil menjabat tangannya. Tangan yang halus, pikirku.
Ia tersenyum melihatku sedikit linglung.
“Kenapa? Enggak usah takut lagi! Anggep aja aku ini temanmu.” Ia mencoba menggenggam tanganku. Aku menepisnya dengan tatapan sinis. Ia memandangku lekat, mencoba mencari arti dari tepisan tanganku.
“Ayo, kita mulai percakapan kita. Ehm... mulai dari mana yah..”ia melirikku sejenak sambil membolak balikkan kertas, mungkin biodataku sebagai pasien. Entah siapa yang mengisi biodata tersebut.
“Kita mulai dengan kesukaan kamu, bagaimana?”
“......”
“Apa yang paling kamu suka?”
“.....”
Aku rasa aku terdiam sangat lama sampai akhirnya ia menghela napas panjang. Sel-sel memori-ku mengajakku menari-nari menuju masa lalu. Bernostalgia dengan pertanyaan tersebut. Pertanyaan simple tapi bermakna dalam sekali dan langsung dapat menusukku tepat di jantung.
“Oke, kalau enggak mau mulai dari kesukaan, kita ganti aja topiknya. Gimana?” tentu saja itu bukan pertanyaan yang membutuhkan jawaban. “Ehm... apa yah...” ia masih mencoba menarik perhatianku di dalam ruangan ini.
Entah muncul perasaan aneh yang menyeruak dan aku ingin ia mengetahuinya. “Gue suka warna darah. Merah membara. “
Ia tersenyum, tanpa menunjukkan ekspresi terkejut. Seperti telah familiar dengan hal seperti ini.
“Lalu... apa lagi ?”
“Kematian.”
“Ehm... begitu yah...” ia tersenyum. Ia menulis sesuatu-entah apa-dengan serius sambil sesekali membetulkan letak kacamatanya.
“Pernah merasakan kematian, dok?”aku meliriknya tajam. Ia terkejut dan berhenti menulis. Ia menggeleng lalu berkata, “Belum. Mungkin belum. Tapi suatu hari nanti pasti terjadi. Iya kan?!”
Aku tertawa kecil. Belum???Rasa kematian sangat menyenangkan dan aku sudah merasakannya. Bahkan sering. Sel-sel memoriku membawaku hanyut ke dalam peristiwa-peristiwa lalu, merah membara. Peristiwa bersejarah dengan kematian. Entah berapa kali aku telah melakukannya. Tak terhitung.
“Sepertinya, pertemuan kita berjalan dengan baik. Besok jam 3 sore kita ketemu lagi disini, oke!!!” ia menunggu persetujuanku. Aku tak menggubrisnya, masih larut dengan kenangan terindah bersama kematian.
“Rana...”
Ia memanggilku dan bagai hentakan tajam, masa kini menarikku kembali. Aku tersadar dari lamunan kosong.
“Sori, kayaknya ini semua salah. Klinik ini dan kehadiran gue disini. Semuanya salah, dok. Kayaknya semua SALAH!! Sori dok...”
Aku bergegas pergi. Langkah-langkah ini bergesa ingin segera pergi dari tempat ini, ke tempat yang memang seharusnya aku berada dan ini semua rasanya adalah kesalahan.
Ia terhenyak, tak bersuara. Masih terpancar wajah kagetnya saat aku menutup pintu ruangan. Masa bodoh. Aku tak perduli. Kepalaku terasa tujuh keliling. Aku lelah dengan ini semua.
***
Ruangan ini terasa gelap dan tak bernyawa. Tak ada tanda-tanda kehidupan disini. Tak ada satu makhluk pun yang ingin menempatinya. Kasur empuk ber-sprei putih tampak sangat kusut. Buku bertebaran dimana-kemana. Ruangan ini tampak sumpek, tak ada napas kehidupan. Aku menghempaskan diri di sofa putih. Mencoba memejamkan mata tapi tak kuasa jua. Ternyata ia terus meronta meminta untuk terjaga. Aku bangun dan menuju cermin panjang di sudut ruangan ini. Mengamati diri yang sangat acak-acakan dan kusut. Bagian di bawah kelopak mata tampak cekung dan kehitaman. Entah sudah berapa malam aku tak terlelap.
Tiba-tiba aku teringat suatu benda. Benda favorit-ku. Aku bergegas mengambilnya dan ketika ku pegang ada sejuta perasaan mendesir, senang. Hangat dan sangat nyaman. Aku mengelusnya lembut layaknya mengelus anak kucing. Bagian kayunya aku pegang erat sebagai pegangan. Bagian selanjutnya adalah bagian yang kusukai. Mengkilap dan sangat runcing. Ketika menyentuhnya adalah sebuah keindahan, ketika kulit luatku perlahan mengelusnya.
Aku tersenyum, bagaimana kalau menyentuh kulit dalamku, bahkan lebih dalam lagi. Mungkin sampai menyentuh urat nadi. Pasti seperti goresan seni, karya sang maestro. Perlahan namun pasti, segera benda tajam itu ingin menyentuh kulitku. Kulit mulus ini akan segera tergores dan mengeluarkan warna indah, warna yang menyala. Dan aku tak perduli.
Aku tersenyum kian lebar, ketika benda tajam tersebut menyentuh urat nadiku dan seketika pula kurasakan detik ini, napasku terasa sangat berat dan terengah-engah. Alam bawah sadarku menerawang jauh ke langit menuju atmosfer dan menuju alam metafisik. Aku terasa melayang. Rasanya sangat ringan dan BEBAS. Bebas? Aku tertawa dalam hati. Mungkin perasaan bebas yang sangat ku perlukan sejak dahulu. Rasa ingin bebas. Dan semua ini seperti kapas, ringan untuk melangkah dan terbang tinggi.
Aku melihat di bawahku rasanya seperti ada pesta warna, penuh dengan warna merah. Entah warna tersebut berasal dari mana. Aku tak perduli.
Aku semakin terbang tinggi. Seperti kapas. Bebas. Melupakan antara alam rasional dan metafisik. Persetan dengan semuanya!
***
“Ga, elo tau gak beda antara alam nyata dan alam bawah sadar kita?”
“.....”
“Sebenarnya beda antara alam rasional dan alam metafisik itu tipis sekali. Sekali benang, hampir tak bisa dibedakan. Sama saja seperti beda antara benci dan cinta. Hanya sepersekian detik saja itu semua dapat di putar balik 180 0. Karena semua itu hanya setipis benang. “
Ia menatapku aneh. Tapi Ega tetap dalam kebisuannya.
“Elo tau gak apa yang paling gue suka?”
Ega menggelengkan kepala.
“Gue suka warna darah. Merah. Rasanya warna yang amat sangat berani. Berani terus berada dalam dunia fana ini dan berani untuk segera menuju kehidupan selanjutnya yaitu kematian. Makanya gue pengen mati di tangan gue sendiri. Gak ada yang boleh tentuin hidup gue berapa lama di dunia ini. Dan pada saat itu tiba, gue pengen elo yang pertama kali melihat gue dalam keadaan seperti itu.”
Ia terkejut setengah mati mendengar jawabanku. “Gila elo, Ran. Gak lucu ah....” gepalan tangannya meninjuku dengan hentakan kosong.
Sedangkan aku sedang tersenyum bahagia, menunggu saat itu tiba.
***
Senja hari ini sangat indah. Lembayung keemasan tersenyum manis di ufuk barat. Membentuk siluet kehidupan yang mulai lelah. Langit yang akan segera menuju kelam. Senja itu pula yang menemani kepergianku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar