Senin, 26 Januari 2009
KEBERPIHAKAN MEDIA MASSA
Carilah satu media yang bisa dibilang independen, tidak memiliki keberpihakan pada apa pun. Mungkin media cetak, media televisi ataukah saluran media lainnya? Ambil satu contohnya saja di sebuah media televisi, media sebesar Metro TV saja dalam memberitakan suatu peristiwa awalnya terlihat kritis. Mengkritik pemerintah serta jajarannya.
Di awal kemunculannya, cukup menghebohkan karna ia menjadi satu-satunya media yang ber-genre berita. All bout news! Namun, masyarakat serta pakar media lainnya pun mulai mafhum bahwa media tersebut saja memiliki keberpihakan [dalam hal ini partai berwarnakan kuning dan dipimpin oleh DPP-nya langsung]. Dapat diketahui pula [pastinya] ia selalu memberitakan partai dan pemimpin tersebut dengan baik [tataran berita positif], tidak ada kritik sama sekali! Saat partai-nya bermasalah, mereka tak mau turut andil. Wajarlah!!!
Atau ambillah satu contoh media cetak seperti Republika dengan jargon "Pegangan Kebenaran". Republika hadir dengan bernafaskan Islam, menghirup segala nafas agama mayoritas di negeri ini. Dan tentu saja berpihak kepada Islam!
Bagaimana dengan Tempo? yang terkenal dengan pemberitaan kritis hingga selalu menyisakan somasi pada beberapa pemberitaannya. Tetap saja menurut hemat saya bahwa Tempo berpihak kepada rakyat (ex populi). Ingin tahu lebih lanjut? Coba anda analisis sebuah media apa pun bagaimana ia [media] membingkai suatu peristiwa menurut perspektif mereka [media tersebut]. Akan terlihat siapa memihak siapa dan apa? Memang lazimnya, berpihak kepada kapitalisme pemilik modal dan power. Dua hal yang tak bisa dipungkiri.
Di balik media nasional tersebut, lebih mengkerucut lagi dalam lingkup kampus tempat saya belajar kini. Posisi saya berada dalam naungan Lembaga Pers Mahasiswa [LPM] INSTITUT UIN Jakarta. Contoh konkret saja dalam media saya [INSTITUT]- saya, dalam pengertian turut andil dalam proses penerbitan ini- mencoba se-transparan mungkin dalam memberitakan kemenangan Presiden BEMU untuk periode 2008-2009, saya dan seluruh Tim INSTITUT sebisa mungkin men-cover both side semua sisi berita. Atau mungkin semua sisi kami tuliskan dan publikasikan kepada khalayak kampus. Semua bentrok, konflik sampai keputusan diberitakan dengan telah meng-kroscek kepada narasumber.
Namun, entah mengapa tetap saja beberapa golongan partai merasa dijelekkan namanya [padahal hal tersebut fakta]. Sebisa mungkin membeberkan fakta yang ada kami dibilang media pembohong. Jujur kami merasa sakit hati, karna bagaimana pun kami telah mengkroscek-nya dan semua itu ada record-nya.
Mencoba untuk independen tapi satu partai biru merasa dilecehkan dan partai hijau malah menganggap kami sebagai "temannya". Siapa yang mau disalahkan kalau sudah begitu?! Pihak rektorat pun, dalam hal ini diwakili oleh Purek Kemahasiswaan UIN Jkt, Ahmad Thib Raya, hanya mengatakan bahwa kasus ini masih dalm diskusi lebih lanjut. Ternyata rektorat masih mengambil jalur aman saja.
Saya justru kasihan terhadap mahasiswa/i apatis dan yang tidak mau tahu apa-apa kepada dunia perpolitikan kampus. Mending kalau mereka apatis atau anti politik tapi mengerti dengan situasi yang terjadi. Hingga tidak terbawa arus. Kalau mahasiswa/i yang kupu-kupu [kuliah pulang kuliah pulang] itu lain cerita lagi. Tapi yang jelas mahasiswa/i seperti pastinya mahasiswa/i anak mami. Lain kultur dalam lingkup fakultas lain pula perspektifnya.
Menindaklanjuti keberpihakan media di atas, tidak bisa pungkiri bahwasannya setiap media massa [di mana pun itu] pastinya memiliki keberpihakan. Entah kepada sang pemilik modal, rating, pengiklan, golongan tertentu bahkan kepada rakyat sekalipun. Sekarang, bagaimana media tersebut tetap menjadi media kritis walau tidak seratus persen independen.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar