Senin, 13 Februari 2012

Menjadi Wartawan


Menjadi tua itu pasti. Menjadi dewasa itu adalah pilihan. Sama halnya seperti memilih profesi apa pun yang kamu inginkan. Entah menjadi seorang aktivis, fotografer, guru, maupun wartawan. Saya memilih jalur yang terakhir. Kenapa? Entahlah…

Mungkin panggilan jiwa dan merasa ini adalah takdir. Berambisi? Entahlah juga, namun saya rasa Tuhan meridhoi jalur yang saya pilih ini. Dalam setiap doa sebelum Desember, bulan di mana saya mulai bekerja. Ternyata, perjalanan yang baru saya mulai ini rasanya sangat hmmm banget. 

Kemudian, spesifikasinya adalah wartawan metropolitan. Dengan berbagai isu mengenai perkotaan Jakarta, seluk beluknya. Mulailah saya ngepos di balai kota dan main di anggota dewan. Yups, serta geser kanan kiri di tiap penjuru kota Jakarta. Here we go and its trully what I want!

Paling suka reportase ketemu orang-orang biasa. Berkesan ketika liputan keluarga Afriyani di Tanjung Priuk, kisah sopir bajaj yang meninggal dunia gara-gara tertimpa pohon tumbang di Dharmawangsa, pasar bunga Rawa Belong, nelayan yang tak melaut karna cuaca ekstrim di Muara Angke, banjir rob di Jalan R.E. Martadinata, dan Pelabuhan baru Muara Angke. 

Kalau soal politik entah kenapa otak jadi ngejelimet. Langsung nyut-nyutan tapi seru banget sih. Ada-ada saja kelakukan anggota dewan itu, dan permainannya. 

Satu hal yang saya pelajari lagi di dunia media; wartawan tak hanya menghadapi narasumber yang susah ditemui atau dihubungi atau omelannya redaktur, tapi wartawan juga menghadapi kesusahan dengan sesama wartawan lainnya. Bagaimana menjadi anak baru dalam satu pos tertentu? Bagaimana tekanan ketika kita mempunyai berita lain dan ternyata mereka pun ingin mendapatkannya? Bagaimana sistem saling berbagi berita? Huuuff, begitulah…

Suatu ketika, soal jale, saya menolaknya. Si humas pernah memaksa sambil menahan tangan saya dan mengejar saya. Saya bilang, nggak usah saya nggak butuh ini mas, dan memang kami tidak diperbolehkan menerimanya. Kata dia, nggak apa-apa, ini sudah biasa. Saya menolak lagi dengan halus dan bergegas pergi. Okelah, saya tak menerimanya, lega sudah. 

Tiba-tiba bbm dari teman masuk, katanya karna saya menerimanya, teman saya juga menerimanya. OMG! Itu fitnah. Ca’nt say anything! Lemas sudah lutut. Saya katakan, sudahlah entah percaya atau tidak tapi Demi Tuhan saya tidak menerimanya. Ternyata, ada saja humas yang melakukan hal seperti itu. Buat apa coba???

Beberapa hari kemudian, dia telpon nanya berita naik atau tidak. So what gitu lho?! Saya katakan, saya hanya mendapatkan perintah untuk liputan dan menuliskannya. Jika dinaikkan itu adalah kebijakan redaktur. Jika ingin bertanya, tanyalah ke redaktur saya. Have done! Tuttt! Saya langsung matikan telponnya. 

Hal terbodoh hampir tiga bulan ini adalah; saya pernah dimarahi narsum karna ketika mulai wawancara saya menyebutkan nama salah satu org di pemprov (ternyata dia berseberangan dan tak suka!) oalah! Habisnya selama 30 menit. 

Kedua, tiba-tiba digeser untuk wawancara orang yang mau ngundurin diri dari wakil. Nggak tahu isu, nggak tahu apa-apa, skak mat tuh wawancara!

Tapi, bukankah selalu ada awal untuk segalanya? Lalu, bukankah ini adalah pengalaman yang harus diperbaiki, diasah kembali, dan bertahan atas tantangan apapun. Tak ada yang sempurna, tapi berusahalah semampu dan sesempurna mungkin. Semangattt hadapi hari esok nes! Gambbatte kudasai…

Jakarta, 12 Februari 2012 pukul 22.23 Wib di tengah hujan deras dan hari ini libur!

3 komentar:

  1. Semoga kelak kamu jadi wartawan tangguh selevel Budiono Darsono :D

    BalasHapus
  2. @ iyya maliya: gpp toh curhat sambil share di blog, hahaa,,

    @yoszca: selevel andreas harsono jg bolee atau mungkin selevel wartawan yg investigasi Watergate, aminnn :D

    BalasHapus