Jumat, 27 Mei 2011

Ia Sedang Sekarat


Usianya dua tahun. Malang, adalah kota pertemuan kami. Tanggal 12 bulan Agustus tahun 2009 pada subuh hari. Sebuah kado berbentuk kotak tergeletak di atas tas backpack 10 liter milik saya.

Saya, Eka, dan Sarah adalah teman sekamar di Kuliah Kerja Nyata (KKN) Kelompok 100 di Malang. Hari itu, kebetulan saya bangun paling pertama. Menunaikan shalat dan bertugas piket di dapur, memasak sarapan pagi untuk sekitar 20-an orang. Setelah dari kamar mandi, saya terheran-heran siapa yang meletakkan kado itu. Kertas kado berwarna coklat. Sebuah sepatu berjenis perempuan.

Lisa Maya Selli, sahabat saya di kelas jurnalistik yang memberikannya. Ia tidak jadi ikut kelompok KKN karena penyakitnya. Sedih, pastinya. Siapa lagi tempat curhat saya kala itu?

“Nes.. maafin gue nggak jadi ikut pergi ke Malang. Semoga sepatu ini bisa menemani lo di sana dan menebus kesalahan gue. Selamat Ulang Tahun. Lisa.” Itu kata dia dalam kartu ucapan.

Kata Eka, ketika hari keberangkatan kami di Stasiun Gambir, ia menitipkannya. Supaya pada hari ultah saya diberikanlah kejutan. Penghilang rasa sedih, katanya.

Warnanya sih tidak mencolok, krem. Motifnya pun tidak norak. Kasual dan rada feminim. Bila dipadankan dengan atasan apa pun akan cocok. Nyaman di kaki. Enak rasanya. Dari hari pertama dipakai nggak bikin telapak kaki lecet juga. Malahan jika ingin langkah seribu dan kecil ia bisa menyeimbangi. Semakin lama dipakai setiap hari, ia tidak akan mengeluh, tidak rusak sedikit pun. Seminggu sekali, saya setia menyucinya, membuat tubuhnya bersih kembali untuk dipakai pada awal minggu. Ia pun tidak neko-neko, mau dengan sabun colek atau pun dengan air saja, ia nurut. Namun, pantangannya dilarang dipakai ketika cuaca mendung, hujan, apalagi banjir. Ambles boo!!

Maka, ia menemani saya selama dua tahun ini.

Mei 2011, ia ngambek minta makan. Nggak tanggung-tanggung, kepalanya mangap terus menerus. Udah sebulan kayak gitu sejak bulan kemarin. Bingung saya harus gimana! Dokternya nggak mau muncul-muncul ke depan rumah saya. Sudah sangat langka dokter baginya. Harga pemeriksaan dan perbaikannya pun lumayan nguras kantong harian saya.

Mencari alas kaki yang nyaman dan pas di hati, memang nggak gampang. Layaknya pacar. Kalau udah pas, rasanya mau dibawa terus kemana aja, kapan aja, dan dalam momen apa pun. Mau itu kuliah, jalan ke mall, liputan, sampe pacaran. Nggak ada duanya bagi saya. Harga mati. Saya pun tidak berniat membeli sepatu baru. Saya tak ingin kehilangannya.

Harapan pergi jauh ke sana, dokter sudah mengoperasinya. Dibedah pun sangat lama, dari matahari berada pas di atas kepala, sampai menuju petang. Maklumlah, penyakitnya sangat banyak; komplikasi. Bahan sepatu yang sudah mulai menipis serta alas sepatu yang makin robek. Setiap sisi di lem dan dijahit. Saya sudah berusaha, sang dokter pun sangat sangat telah berusaha. Kata dokter, persentasenya, 20:80 %. 10%nya lagi keajaiban dari Yang Maha Kuasa. Mungkin, Yang Maha Kuasa berkehendak lain. Ia sedang sekarat sekarang.

Pasar Minggu, 21 Mei 2011

2 komentar:

  1. haha.. keren mba, cara menulis yang bagus.. pertama ga nyangka kalo yg di bicarakan adl sepatu, awanya tag kira temanmu yg ngasi sepatu yg skrt... yah saya doakan sepatunya di berikan umur yang panjang ya mba..

    BalasHapus
  2. lah kok mba e ci panggilnya.. owalah gubrakk gw.. hahaaa...\
    msh sekarat tuh sepatunya dan msh setia menemani hingga akhir hayat.. pacar kedua saya tuh.. hehee.. ^^

    BalasHapus