Senin, 26 Januari 2009

“Pendekatan Institusional Terhadap Penayangan dan Pemberitaan Kriminalitas”

1. PENDAHULUAN

Media massa merupakan elemen terpenting dalam menyebarkan segala macam informasi. Seperti yang tercantum dalam fungsi media massa menurut Harold Lawell yaitu menyebarkan informasi, memberikan pengawasan (surveillance), hiburan dan menurunkan warisan sosial dari generasi ke generasi berikutnya (transmission of the social heritage).

Melalui fungsi-fungsi tersebut maka terdapat sistem atau aturan yang mengatur media massa dalam hal etika. Seperti halnya media elektronik, di dalamnya terdapat standar program siaran. Namun, bagaimanapun sistem standar tersebut mengikat tetap saja terdapat aturan yang tidak bisa diterapkan. Alasannya, karena rating atau sebab lainnya.

Dalam hal ini, pemberitaan khususnya dalam bidang kriminalitas sangat disukai. Terbukti dengan survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas bahwa sekitar 69% dari warga Negara Indonesia menyukai dan menonton pemberitaan kriminalitas dan sisanya ada yang pernah menonton dan ada yang tidak pernah menonton sama sekali. Ada beberapa berita kriminalitas yang menyiarkan rekonstruksi kejahatan, padahal jelas-jelas hal tersebut dilarang dalam aturan Komisi Penyiaran Indonesia. Atas dasar inilah, akan dibahas pemberitaan kriminalitas apa saja yang dapat melanggar pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang Penyiaran dan Keputusan Komisi Penyiaran Indonesia.

2. KAJIAN TEORI

Dari pendahuluan yang telah dipaparkan di atas, maka penulis menggunakan pendekatan institusional. Ada beragam pemberitaan yang tidak sesuai dengan Undang-Undang atau aturan yang berlaku. Pendekatan institusional ini mencerminkan sistem yang dianut oleh suatu masyarakat. Bahwa pendekatan ini berpandangan ada suatu kelembagaan yang membawahi aktivitas komunikasi massa khususnya dalam bidang media massa.


Maka dari itu, media massa merupakan kontrol sosial yang mengontrol dan mengendalikan perilaku masyarakat supaya tidak melakukan peniruan (imitasi) atas sebuah tindakan kriminalitas. Karena standar dalam penyiaran maupun dalam kode etik jurnalistik manapun telah diatur dalam lembaga institusional. Dengan demikian, digunakanlah pendekatan institusional, dengan menyertakan Undang-Undang Komisi Penyiaran Indonesia yang bertentangan (kontra) dengan yang ada di dalam lapangan.

3. PEMBAHASAN

Tayangan kriminalitas (kekerasan) memang merupakan konsumsi publik yang sangat disukai masyarakat pada umumnya. Tercatat dari pantauan Bagian Monitoring KPI Pusat terhadap 10 stasiun televisi swasta (ANTV, Metro TV, TV One, Trans TV, Trans-7, Indosiar, SCTV, Global TV dan RCTI dan satu stasiun televisi publik (TVRI). Bahwasannya sebanyak 95, 8% penduduk Indonesia menonton tayangan kriminalitas yang menggunakan fisik dan terdapat satu stasiun televisi swasta yang paling banyak menyiarkannya yaitu Global TV.


Pada Keputusan Komisi Penyiaran Indonesia, Nomor 009/ SK/ KPI/ 2004 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran KPI terdapat pasal-pasal yang disalah gunakan atau disalah artikan oleh badan-badan institusional penyiaran. Di antara pasal-pasal tersebut yaitu:
a. Pasal 28 Ayat 2
“Program atau promo program yang mengandung muatan kekerasan secara dominan atau mengandung adegan kekerasan eksplisit dan vulgar, hanya dapat disiarkan pada pukul 22.00-03.00 sesuai waktu stasiun televisi penyiaran yang menayangkan. “
Di bawah ini terdapat berbagai pihak yang pro dan kontra terhadap pasal ini, di antaranya:
PRO: KPI menyetujui pasal ini karena di atas pukul 22.00-03.00, anak-anak sudah tidur. Maka, diperkirakan penonton yang menonton televisi pada pukul itu adalah orang-orang dewasa.
Dan tidak ada yang menolak pasal ini.

Contohnya saja, Sidik Pagi yang ditayangkan pada pukul 05.00-07.00 pagi, di Stasiun Televisi Swasta TPI. Sidik Pagi ini adalah program berita yang mengkhususkan kepada berita kriminal. Sedangkan program berita kekerasan ini ditayangkan saat anak-anak sudah bangun tidur.


b. Pasal 33 ayat 2 yaitu:
“Lembaga penyiaran tidak boleh menyajikan materi siaran tentang kekerasan dan kriminalitas yang dalam proses produksinya diketahui mengandung muatan rekayasa yang mencemarkan nama baik dan membahayakan objek pemberitaan.”


Contoh kasus mutilasi yang baru terjadi belakangan ini adalah kasus mutilasi yang dilakukan oleh Sri Rumiyati (48) terhadap suaminya Hendra. Menurut Yati, ia terinspirasi atas kasus mutilasi yang dilakukan oleh Ryan terhadap Heri Santoso yang ditayangkan di televisi.
Begitu hebatnya efek dari media massa sehingga dapat menginspirasi seseorang untuk melakukan pembunuhan apalagi memutilasi korban, ini disebabkan oleh penyajian berita yang membahayakan objek pemberitaan. Dalam hal ini tidak ada yang kontra (menolak) terhadap pasal ini karena mayoritas menyetujui bahwa pasal ini harus dijalankan sebagaimana mestinya.

c. Pasal 33 Ayat 3
“Lembaga penyiaran tidak boleh menyajikan adegan rekonstruksi kejahatan pembunuhan secara rinci. “
Masih pada contoh yang sama, walaupun dalam berita mutilasi Ryan tidak dilakukan rekonstruksi kejahatan tapi tetap saja ada penjelasan bagaimana potongan tubuh korban tidak dapat diketahui. Contohnya, pada Koran Kompas, Senin, 10 November 2008 terdapat berita pada tahun 1989 ada peristiwa mutilasi Ny. Diah yang dilakukan oleh suaminya, Agus Nanser.
“Ketika mulai panik mau dikemanakan mayat itu, tiba-tiba saya ingat berita di Koran tentang mayat terpotong 13 yang ditemukan di Jalan Sudirman. Lalu terlintas pikiran, kalau mayat itu saya potong-potong tentu polisi sulit melacak, “tutur Agus dalam persidangan di PN Jakarta Pusat (Kompas, 4 Desember 1989).
KPI menyetujui pasal ini. KPI juga mendorong realisasi perubahan struktur industri pertelevisian, untuk menghindari efek negatif dari tayangan televisi, khususnya kriminalitas.
Gafar Yutadi, Manajer Departemen Pemberitaan Televisi Indosiar, awalnya menolak pasal ini karena ia mempunyai program acara kriminal khusus yakni Patroli. Sejak 10 tahun berlangsung acara ini sangat digemari, namun setelah pasal ini keluar, acaranya kurang mendapat minat lagi.

Banyak produser program acara kriminal di televisi yang menolak karena berita kriminal yang kejahatannya keras, dramatis, dan ada korban jiwanya itu yang sangat menarik. Setelah disahkan UU ini maka terdapat etika bahwa rekonstruksi kejahatan secara vulgar gambarnya harus disamarkan.


Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Bimo Nugroho mengatakan bahwa sesuai dengan hasil pengamatan KPI menunjukkan bahwa media televisi semakin banyak mengumbar berita yang penuh dengan adegan kekerasan karena merupakan strategi untuk menang dalam persaingan antar media televisi khususnya kekerasan, mistik dan seks merupakan tiga aspek yang mampu mendongkrak rating televisi.


Dari contoh pasal-pasal beserta contoh pada dunia nyata maka dapat diketahui pasal-pasal yang kurang jelas, oleh karenanya pasal-pasal tersebut bisa dilanggar. Selain itu, terdapat berbagai pihak yang pro dan kontra terhadap pasal yang menyangkut kriminalitas. Karena pasal yang kurang jelas tersebut, dapat diketahui bahwa media massa itu dapat menginspirasi seseorang untuk berbuat kejahatan atau pembunuhan. Maka dari itu, media massa (media cetak dan media televisi) perlu di kontrol.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar